Mohon tunggu...
Girindra Sandino
Girindra Sandino Mohon Tunggu... Semua baik-baik saja

Indonesian Democratic (IDE) Center

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tirani Formalitas, Hapus Syarat Pendidikan dan Ijazah Dalam UU Pemilu

26 September 2025   15:30 Diperbarui: 26 September 2025   16:09 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: ilustrasi kotak suara calon pemimpin terperangkap syarat ijazah

Asumsi bahwa gelar akademis sebanding lurus dengan kemampuan mengelola negara dan masyarakat adalah sebuah simplifikasi yang berbahaya. Dalam studi-studi kepemimpinan, kompetensi yang dibutuhkan dalam birokrasi dan politik adalah sebuah entitas multidimensi yang tidak dapat diukur melalui skala nilai atau indeks prestasi kumulatif.

Sejak dekade 1940-an hingga 1950-an, Teori Perilaku (Behavioral Theories) dalam kepemimpinan telah menggeser fokus dari bakat bawaan ke tindakan dan aksi yang nyata. Teori ini menegaskan bahwa kepemimpinan yang efektif adalah kumpulan perilaku dan keterampilan yang diperoleh, diasah, dan ditingkatkan melalui eksperimentasi praktis dan pengalaman yang terakumulasi.

Kemampuan fundamental seorang pejabat publik-seperti kecakapan bernegosiasi lintas kepentingan, resolusi konflik, kapasitas manajerial dalam situasi krisis, dan perumusan kebijakan yang membumi-adalah keterampilan yang sebagian besar ditempa di arena nyata, bukan semata-mata di ruang sekolahan.

Dengan mempertahankan syarat ijazah, kita sedang menggadaikan kompetensi praktis dengan kompetensi teoretis. Ijazah menjadi ilusi kompetensi-sebuah penanda formal yang tidak menjamin kualitas substantif.

Maka dari itu, Revisi UU Pemilu harus berani menempatkan rekam jejak empiris dan prestasi nyata sebagai kriteria utama, meninggalkan ketergantungan pada postulat akademik semata.

Wacana penghapusan syarat ijazah adalah perjuangan untuk menegakkan Meritokrasi Sejati. Filosofi meritokrasi menuntut agar kekuasaan dan posisi didistribusikan berdasarkan kemampuan dan prestasi individu, bukan berdasarkan modal ekonomi atau formalitas (privilege).

Saat ini, ijazah berfungsi sebagai penyaring eksklusifitas. Ia membatasi akses bagi talenta otodidak yang kecerdasannya terbukti melalui kemampuan survive dan excel di tengah keterbatasan.

Sistem yang berlaku ini mengistimewakan mereka yang memiliki privilege untuk mengakses pendidikan formal, terlepas dari kualitas kepemimpinan yang mereka miliki. 

Bukan itu saja, banyak sekali yang ingin memastikan ini calon pemimpin kuliah atau tidak. Paradigma kerdil yang termanifestasi menjadi aksi yang merendahkan kemampuan orang lain.

Bukanlah tujuan demokrasi untuk memproduksi pemimpin yang seragam secara akademik, melainkan untuk menghadirkan pemimpin yang paling beragam, paling kompeten, dan paling representatif terhadap spektrum realitas sosial masyarakat.

Secara komparatif, pengalaman di banyak negara yang menganut sistem pemerintahan matang menunjukkan adanya pergeseran penekanan. Banyak yurisdiksi global telah beralih memprioritaskan kualifikasi manajerial, pengalaman setara (equivalent experience), dan hasil uji kompetensi substantif sebagai pengganti mutlak ijazah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun