Sistem proporsional terbuka, yang dipilih untuk memberikan kedaulatan langsung kepada pemilih, secara ironis justru menciptakan kompetisi yang sangat ketat dan personal di internal partai.Â
Setiap calon berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak di antara rekan-rekannya sendiri, dan hal ini memicu biaya politik yang melambung tinggi. Laporan dari Lembaga Survei Indonesia (LSI: 2025) dan studi dari Cost of Politics (Cost of Politics: 2025) menunjukkan, biaya kampanye telah menjadi sangat fantastis, bahkan sejak tahap pencalonan hingga pasca-pemilu.
Kondisi tersebut melahirkan praktik "mahar politik", sebuah bentuk suap yang terang-terangan yang telah menjadi bagian dari proses rekrutmen politik. Seorang calon yang telah mengeluarkan modal besar, tentu akan memiliki dorongan kuat untuk mengembalikan modal ini.
Ketergantungan pada modal finansial ini mengubah kompetisi politik dari arena gagasan menjadi medan pertempuran uang. Pada titik inilah peran partai politik sebagai "gerbang" demokrasi patut dipertanyakan.Â
Proses rekrutmen calon legislatif di internal partai seringkali tidak transparan dan didominasi oleh kekuasaan dan modal finansial. Meskipun ada kriteria formal seperti usia dan pendidikan, kenyataannya, loyalitas dan kekayaan sering menjadi penentu utama (The Indonesian Institute: 2024).Â
Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan rendahnya literasi politik di kalangan masyarakat menyempurnakan lingkaran setan ini. Bawaslu, sebagai pengawas, memang memiliki kewenangan untuk menangani pelanggaran seperti politik uang. Sekalipun demikian, penegakan hukum masih menghadapi kendala prosedural yang tidak proporsional.Â
Di pihak lain, Indeks Literasi Digital Indonesia (Kominfo & Katadata: 2023) masih berada di kategori sedang. UNESCO (UNESCO: 2016) bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara dalam riset literasi. Kondisi ini membuat masyarakat rentan terhadap hoaks dan disinformasi, serta membuat mereka permisif terhadap politik uang.Â
Survei dari LSI pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sekitar 40 persen publik bersedia menerima uang dari calon atau partai. Realitas ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap politik uang sebagai "bagian alami" dari pemilu.
Lantas dimana korelasinya? Jelas proses rekrutmen di partai politik menentukan kualitas anggota DPR yang akan membuat Undang-Undang. Sudah begitu, KPU dalam membuat aturan tehnis harus konsultasi dengan DPR RI yang jelas hasil produk pemilu yang rancangan sistem pemilunya juga digadang oleh kelompok yang menuntut hari ini.Â
Maka dari itu, untuk memperbaiki demokrasi kita bukan sekadar menuntut KPU, melainkan melakukan perbaikan yang lebih fundamental. KPU harus didukung dengan undang-undang yang kuat dan jelas, yang memberinya mandat penuh untuk verifikasi substantif.Â
Partai politik, sebagai aktor utama, harus mereformasi diri, membuka proses rekrutmen, dan memprioritaskan kompetensi di atas modal. Bawaslu sebagai pengawas, harus diperkuat agar dapat bertindak lebih cepat dan tegas.Â