Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Random Act of Kindness di Transportasi Umum: Saat Kebaikan Bertemu Kesabaran

9 September 2025   06:33 Diperbarui: 16 September 2025   11:49 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di dalam KRL, setiap perjalanan bukan hanya soal jarak, tapi juga tentang empati dan berbagi. (Foto: Freepik)

Transportasi umum di Indonesia selalu punya ceritanya sendiri. Ada yang penuh sesak sampai harus berdiri berjam-jam, ada yang penuh obrolan kecil antara penumpang yang tak saling kenal, dan ada pula momen-momen kecil yang kadang membuat hati hangat.

Kita mungkin sering mendengar istilah random act of kindness - sebuah kebaikan kecil yang hadir tanpa diminta, dilakukan tanpa pamrih, dan bisa jadi memberi kesan mendalam, baik bagi penerima maupun pemberi.

Saya sendiri pernah beberapa kali mengalami dan melakukan hal-hal semacam ini. Misalnya, ketika memberi kursi kepada penumpang prioritas di KRL, atau sekadar membantu menahan pintu agar orang lain bisa ikut masuk. Hal-hal kecil memang, tapi kadang justru yang kecil inilah yang paling mengena.

Namun, ada satu pengalaman yang sampai sekarang masih saya ingat dengan jelas. Sebuah kisah yang tidak hanya bicara tentang membantu orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknai kebaikan itu sendiri.

Perjalanan Panjang Menjelang Lebaran

Kejadiannya sekitar bulan Ramadan, beberapa tahun lalu. Saat itu saya hendak mudik dari Bogor menuju kampung halaman di Lampung. Jalurnya cukup panjang: dari Bogor naik KRL ke Rangkasbitung, lalu lanjut naik kereta lokal menuju Stasiun Merak, sebelum akhirnya menyeberang dengan kapal.

Karena momen Ramadan menjelang Lebaran, suasana stasiun dan kereta tentu saja ramai. Banyak orang membawa barang belanjaan, oleh-oleh, atau kebutuhan untuk keluarga di kampung. Saya pun sudah menyiapkan diri untuk perjalanan panjang itu, lengkap dengan tas gendong yang lumayan berat.

Di Stasiun Rangkasbitung, saya bertemu dengan seorang ibu-ibu. Dari penampilannya, jelas ia habis belanja banyak barang, mungkin pakaian atau kebutuhan lain yang hendak dijual lagi menjelang Lebaran. Tangannya penuh dengan kantong besar berisi barang dagangan.

Ibu itu kemudian menyapa saya. Obrolan kecil pun terjadi. Ia bertanya saya dari mana dan hendak ke mana. Setelah tahu tujuan kami sama-sama menuju Merak untuk menyeberang, ibu itu lalu meminta bantuan. Ia menunjuk salah satu kantong besar yang dibawanya, dan memohon agar saya mau membantu membawakan.

Awalnya saya pikir, bantuan itu hanya sebatas membantu menurunkan barang dari kereta. Tentu saja saya tidak keberatan. Apalagi di bulan puasa, membantu orang lain terasa seperti bagian kecil dari ibadah. Namun, rupanya dugaan saya salah.

Begitu turun di Rangkasbitung, ibu itu meminta saya terus membantu membawakan kantong besar itu sampai ke pelabuhan. Jaraknya tidak dekat, dan kondisi puasa membuat tubuh saya cukup letih. Apalagi saya juga membawa tas gendong yang berat.

Yang membuat saya agak kesal adalah ketika perjalanan menuju pelabuhan, ibu itu akhirnya menyewa kuli panggul untuk membawakan barang-barang lainnya. Anehnya, barang yang saya bawa justru dibiarkan tetap di tangan saya, seolah itu sudah menjadi tanggung jawab saya sejak awal. Dalam hati saya mulai merasa ada yang tidak seimbang.

Di Antara Kebaikan dan Rasa Dimanfaatkan

Momen itu jujur membuat saya berpikir ulang. Di satu sisi, saya memang ikhlas membantu sejak awal. Saya tidak berharap imbalan apa pun. Tetapi, ketika bantuan itu terasa seperti dimanfaatkan tanpa ada sekadar ucapan terima kasih yang tulus, rasanya jadi lain. Ada rasa jengkel, apalagi dalam kondisi puasa dan perjalanan panjang yang menguras tenaga.

Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa random act of kindness memang tidak selalu berakhir dengan perasaan manis. Kadang, kebaikan kita justru menguji kesabaran. Kita bisa merasa senang karena membantu, tapi bisa juga merasa dimanfaatkan.

Namun, di situlah sebenarnya makna kebaikan diuji. Apakah kita hanya ingin melakukan kebaikan kalau ada balasan? Atau kita tetap bisa memberi, meski yang kita dapat hanyalah lelah dan sedikit rasa kesal?

Transportasi umum seperti KRL atau kereta lokal sering kali membuka mata. Di dalamnya, kita bertemu dengan berbagai macam karakter: ada yang ramah, ada yang cuek, ada yang rela berbagi kursi, ada juga yang berpura-pura tidur agar tidak ditawari untuk memberi tempat duduk. Semua berbaur dalam satu ruang yang sama.

Di sinilah nilai sosial itu muncul. Transportasi umum bukan sekadar alat untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga ruang untuk belajar empati, memahami orang lain, dan melatih kesabaran. Setiap interaksi kecil bisa menjadi cermin, bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang di sekitar.

Mungkin, ibu yang saya bantu itu bukan bermaksud memanfaatkan. Bisa jadi ia benar-benar lelah, kewalahan dengan barang bawaannya, dan lupa untuk menimbang bagaimana perasaan orang yang sudah membantunya. Saya mencoba memaklumi itu, meski tetap ada rasa kurang nyaman.

Makna Kebaikan yang Sesungguhnya

Dari pengalaman itu, saya menarik beberapa pelajaran. Pertama, membantu orang lain memang baik, tetapi kita juga perlu tahu batas kemampuan diri sendiri. Jangan sampai niat baik justru membuat kita terlalu terbebani, apalagi sampai mengorbankan kesehatan atau keselamatan.

Kedua, sebagai penerima bantuan, ucapan terima kasih sekecil apa pun bisa sangat berarti. Apalagi di ruang transportasi umum yang penuh dengan lelah dan keterbatasan, sikap menghargai itu bisa membuat hati orang lain terasa ringan.

Ketiga, random act of kindness tidak selalu mulus. Kadang ada rasa senang, kadang ada rasa kesal. Tetapi, pada akhirnya, kebaikan adalah tentang niat. Selama niatnya tulus, pengalaman itu tetap akan memberi makna.

Transportasi umum memang sering identik dengan hiruk-pikuk dan kelelahan. Tapi di balik itu, selalu ada ruang bagi kebaikan, sekecil apa pun bentuknya. Entah itu memberi kursi, menolong orang membawa barang, atau sekadar tersenyum kepada penumpang lain.

Karena siapa tahu, kebaikan kecil yang kita lakukan hari ini bisa jadi cerita berharga bagi orang lain, sebagaimana pengalaman saya ini menjadi refleksi berharga bagi diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun