Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ruang Bersama, Tanggung Jawab Bersama: Ngaca Bareng Etika di Transportasi Umum

14 Agustus 2025   09:07 Diperbarui: 14 Agustus 2025   11:53 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pagi di kota dengan transportasi umum yang ramai, bus dan kereta mengantar warga menuju aktivitas harian. (Sumber: Freepik)

Di tengah hiruk pikuk kota, transportasi umum menjadi sebuah panggung yang ramai, di mana ribuan cerita, impian, dan kepenatan berbaur. Ruang ini seharusnya menjadi tempat kita bisa sejenak menenangkan diri, namun seringkali kita justru dihadapkan pada tontonan yang menguji kesabaran.

Suara obrolan yang menggelegar, alunan musik yang mengganggu dari ponsel tanpa earphone, atau pemandangan remahan makanan yang tercecer di kursi adalah hal-hal yang lumrah kita temui. Tindakan seperti merebahkan kursi tanpa peduli orang di belakang atau meletakkan tas di kursi kosong seolah itu adalah hak pribadi, kerap menjadi pemandangan yang membuat kita mengelus dada.

Mari kita jujur pada diri sendiri. Transportasi umum adalah ruang publik yang menuntut toleransi dan empati, bukan sebuah properti pribadi yang bisa kita atur seenaknya. Di dalamnya, ada orang yang ingin memejamkan mata sejenak untuk mengumpulkan energi, ada yang asyik membaca buku, atau sekadar ingin diam menikmati perjalanan. Maka, satu gangguan kecil saja bisa merusak suasana dan menghilangkan rasa nyaman bagi banyak orang.

Menghadapi situasi seperti ini, bagaimana reaksi kita? Apakah kita memilih untuk bersuara dan menegur langsung, memberi isyarat tak kentara, atau hanya berpasrah dalam diam sambil berpikir, "sabar, ini cobaan"? Setiap pilihan memiliki konsekuensinya, dan seringkali kita bingung harus memilih yang mana agar tidak memicu suasana canggung dan penuh drama.

Saya pribadi seringkali berada di persimpangan itu. Kalau ditanya, pernah nggak melakukan hal-hal yang tidak beretika itu? Alhamdulillah, tidak pernah. Tapi kalau ditanya pernah nemu yang begitu? Sering sekali. Baik di bus kota yang padat, di kereta KRL Jabodetabek, atau di kereta antarkota. Seringnya, sayalah yang justru sering mengalah.

Saya teringat satu pengalaman yang sampai sekarang masih membekas. Saat itu saya dalam perjalanan pulang kampung. Ngeteng dari Bogor ke Lampung naik kereta, bukan perjalanan yang pendek. Ditambah lagi, ini di tengah puasa di penghujung Ramadan. Bisa dibayangkan, bagaimana lelahnya tubuh dan pikiran. Penumpang kala itu membludak, stasiun dan gerbong penuh sesak. Di tengah penat yang luar biasa, kesabaran dan kemanusiaan kita benar-benar diuji.

Ketika menemukan kursi kosong, rasanya seperti menemukan harta karun. Namun, tak lama setelah saya duduk, ada seorang ibu hamil yang masuk ke gerbong dengan wajah lelah. Di saat yang sama, ada juga lansia yang kesulitan berdiri. Padahal, sudah jelas terpampang papan pengingat untuk memprioritaskan wanita, ibu hamil, anak kecil, dan lansia. Namun, banyak penumpang lain yang seolah tidak melihat, pura-pura tidur, atau sibuk dengan ponsel masing-masing.

Di momen itu, hati saya bertarung. Perjalanan yang jauh dan melelahkan, harus berhadapan dengan ego. "Kenapa harus saya yang mengalah? Saya juga capek," batin saya. "Orang lain saja belum tentu melakukan hal yang sama." Namun, ada suara lain yang lebih kuat, sebuah dorongan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Perlahan, saya berdiri dan mempersilakan ibu hamil dan lansia itu untuk duduk. Mereka tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Di luar dugaan, rasa lelah fisik yang saya rasakan seolah hilang begitu saja, berganti dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hati saya merasa nyaman dan senang. Ada rasa bahagia dan lega yang luar biasa. Meski harus kembali berdiri di tengah kerumunan, rasa senang karena bisa melakukan hal yang benar, sesuai dengan aturan dan hati nurani, jauh lebih berharga dari kenyamanan duduk. Itu adalah momen refleksi bagi saya; bahwa kebaikan kecil yang kita lakukan, meskipun dengan mengorbankan kenyamanan pribadi, bisa membawa kebahagiaan yang jauh lebih besar.

Tentu, sebagai manusia, rasa capek itu wajar. Namun, dari pengalaman itu, saya belajar sebuah pelajaran berharga: bahwa mengalah bukanlah sebuah kekalahan, melainkan kemenangan atas ego sendiri. Itu adalah wujud kematangan dan rasa empati yang sesungguhnya. Mengalah di transportasi umum bukan hanya sekadar memberikan tempat duduk, tetapi juga memberikan ruang, bukan hanya untuk orang lain, melainkan juga untuk kebaikan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun