Menghadapi pelanggaran etika yang mengganggu di ruang publik memang butuh strategi. Sejujurnya, saya jarang berani menegur langsung, karena seringkali takut malah memicu perdebatan yang tidak perlu. Saya pernah mendapati rombongan keluarga di KRL yang anak-anaknya berisik dan mengganggu penumpang lain. Saya hanya memberikan kode halus, dan saat ada petugas lewat, saya juga memberikan isyarat agar petugas yang menegur. Cara ini ternyata efektif dan membuat suasana kembali kondusif tanpa drama.
Namun, berbeda ceritanya jika saya menemukan kursi kosong yang sengaja ditaruh tas atau barang lain. Dalam situasi seperti ini, saya akan meminta izin untuk menempati tempat itu dengan baik-baik jika saya membutuhkannya. Jika sudah mengganggu kenyamanan banyak orang, saya lebih memilih untuk melapor ke petugas yang berwenang, karena itu tugas mereka untuk menjaga ketertiban.
Maka, untuk kita semua, mari kita introspeksi. Adakah etika di transportasi umum yang menurutmu sering diabaikan dan disepelekan? Mungkin bukan hanya soal tempat duduk, tetapi juga volume suara, kebersihan, atau bahkan senyum dan sapaan yang ramah. Siapa tahu dari cerita dan pengalaman itu, kita bisa sama-sama belajar.
Mari kita ciptakan ruang publik yang nyaman dan penuh empati, di mana setiap orang merasa dihargai. Karena, pada akhirnya, kenyamanan di transportasi umum bukanlah tanggung jawab satu atau dua orang, melainkan tanggung jawab kita bersama. Dan kebahagiaan sejati seringkali datang dari kebaikan yang kita berikan, bukan dari kenyamanan yang kita dapatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI