Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Sabda "Raja Kecil" Tak Lagi Sakti di Bumi Mina Tani

14 Agustus 2025   05:25 Diperbarui: 14 Agustus 2025   05:25 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Pati demo menentang kebijakan pajak baru yang membebani, setelah bupati menantang protes dengan sikap arogan. (Sumber: naofalmohammad)

Langit Pati rasanya sedang tak biasa. Udara yang biasanya diisi deru mesin traktor dan aroma tanah basah, kini terasa lebih panas, lebih sesak. Bukan karena musim kemarau, tapi karena api amarah warganya yang tersulut. Kali ini, pemicunya bukanlah sekadar lidah yang terpeleset, melainkan sebuah kebijakan yang dianggap mencekik dan arogansi yang menantang langit.

Semua bermula ketika palu kebijakan diketuk. Pemerintah daerah secara sepihak menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan angka yang tak masuk akal, disebut-sebut melonjak hingga ratusan persen. Bagi masyarakat "Bumi Mina Tani" yang hidupnya bergantung pada tanah dan hasil bumi, kenaikan ini terasa seperti cambuk yang menghantam punggung di tengah kerja keras mereka. Kebijakan itu terasa seperti menara gading yang tak peduli pada fondasi di bawahnya, fondasi yang dibangun dari keringat dan doa rakyatnya.

Namun, yang mengubah kekecewaan menjadi amarah kolektif adalah respons sang bupati. Alih-alih membuka ruang dialog dan mendengar keluh kesah warganya, ia justru melontarkan tantangan. Dengan dada yang dibusungkan, ia seolah berkata, "Silakan protes! Saya siap hadapi sekalipun 500 ribu demonstran!" Sebuah kalimat yang bukan hanya menunjukkan arogansi kekuasaan, tapi juga memandang rakyatnya sebagai lawan yang perlu ditaklukkan, bukan sebagai mitra yang harus didengarkan. Sabda sang "raja kecil" ini menjadi percikan bensin yang menyambar tumpukan jerami kering kekecewaan warga.

Dan tantangan itu dijawab. Rakyat Pati tidak gentar. Mereka membuktikan bahwa solidaritas mereka jauh lebih besar dari arogansi penguasa. Berbagai elemen masyarakat yang bersatu pun mempersiapkan perlawanan. Ada satu pemandangan luar biasa yang terjadi sebelum puncak demo: warga secara swadaya dan gotong royong mengumpulkan sokongan makanan dan minuman untuk para demonstran yang akan hadir menjawab "undangan" bupati.

Namun, apa yang terjadi? Aparat Satpol PP justru mencoba membubarkan dan menyita hasil sokongan itu. Sebuah tindakan yang ironis, di mana negara seolah hendak memadamkan semangat kebersamaan warganya sendiri. Tapi, rakyat Pati melawan. Didesak oleh ratusan warga yang marah, aparat pun mundur dan hasil sokongan itu kembali ke alun-alun, menjadi simbol kemenangan kecil pertama sebelum perang besar dimulai.

Dari Dunia Maya ke Jalan Raya

Maka, ketika hari-H tiba dan jalanan Pati benar-benar dipenuhi lautan manusia untuk menjawab tantangan itu, kisaran 100 ribu warga hadir memenuhi alun-alun hingga kantor bupati dan DPRD. Api sudah tak terbendung. 

Di era digital ini, tak ada lagi rahasia yang bisa disimpan rapat-rapat di ruang kerja ber-AC. Arogansi sang bupati dan kisah penyitaan sokongan warga menyebar lebih cepat dari angin. Media sosial menjadi pengadilan rakyat pertama. Cacian, makian, meme-meme satire, hingga utas panjang yang menganalisis betapa terputusnya hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, semuanya tumpah ruah.

Ini bukan lagi sekadar kemarahan sesaat. Ini adalah akumulasi. Ucapan sang bupati dan kebijakan pajaknya hanyalah puncak gunung es, pemicu yang akhirnya menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam satu suara: "Turun!"

Gelombang protes pun tak terhindarkan. Dari aktivis mahasiswa, tokoh masyarakat, hingga warga biasa, mereka turun ke jalan. Kantor bupati dan gedung DPRD menjadi panggung orasi. Spanduk-spanduk berisi tuntutan dibentangkan dengan gagah. Mereka tidak lagi takut. Rasa tersinggung dan harga diri yang terinjak telah mengalahkan rasa segan pada simbol kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun