Menikah, lalu punya anak. Sepertinya itu adalah alur hidup "ideal" yang sering kali kita dengar di masyarakat. Pertanyaan "kapan?" atau "sudah isi belum?" menjadi semacam basa-basi yang tanpa sadar bisa menjadi beban berat bagi banyak pasangan. Nah, film terbaru yang tayang di bioskop, "Lyora: Penantian Buah Hati", datang membawa sebuah cerita yang begitu dekat, personal, dan terasa seperti pelukan hangat, terutama bagi mereka yang sedang berada dalam perjalanan serupa.
Disutradarai oleh Prita Arianegara, film berdurasi 94 menit ini bukan sekadar drama keluarga biasa. Ia adalah sebuah jendela untuk mengintip perjuangan nyata yang begitu menguras emosi, diangkat dari kisah hidup Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, dan suaminya, Noer Fajrieansyah.
Kisah Nyata yang Mengetuk Hati
Film ini mengajak kita mengikuti perjalanan Meutya (diperankan dengan brilian oleh Marsha Timothy), seorang wanita karier yang sukses dan tangguh, bersama suaminya, Fajrie (Darius Sinathrya). Di balik citra pasangan yang tampak sempurna, mereka memendam sebuah kerinduan yang mendalam: kehadiran seorang anak.
Perjuangan mereka bukanlah hal yang mudah. Di usia Meutya yang tak lagi muda, berbagai cara mereka tempuh. Mulai dari program medis seperti bayi tabung (IVF) dan inseminasi, hingga mencoba metode-metode alternatif. Setiap usaha membawa harapan, namun tak jarang berujung pada kegagalan yang menyakitkan. Film ini dengan jujur menggambarkan rollercoaster emosi yang mereka alami — harapan yang membuncah, disusul oleh rasa kehilangan yang mendalam saat keguguran datang berulang kali.
Sutradara Prita Arianegara dan penulis Titien Wattimena berhasil meramu kisah ini tanpa kesan menghakimi. Penonton tidak hanya melihat, tapi juga diajak merasakan setiap detiknya. Kekecewaan Meutya menjadi kekecewaan kita, dan ketegaran Fajrie menjadi sumber kekuatan yang kita kagumi.
Beban Tak Kasat Mata: Ekspektasi Orang Lain
Salah satu pesan terkuat dari film "Lyora" adalah tentang beban ekspektasi orang lain. Film ini dengan sangat pas menggambarkan bagaimana stigma infertilitas masih menjadi isu sensitif. Tekanan sosial, terutama terhadap perempuan, untuk segera memiliki anak setelah menikah, digambarkan dengan begitu nyata.
Perjalanan Meutya dan Fajrie menjadi cerminan bagi siapa pun yang sedang merasa terbebani oleh ekspektasi, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar. Film ini seolah ingin mengatakan, "Kamu tidak sendirian." Ia mengajarkan betapa pentingnya kesabaran dan bagaimana membangun benteng pertahanan dari omongan orang lain yang seringkali tidak membantu.