Begitu turun di Rangkasbitung, ibu itu meminta saya terus membantu membawakan kantong besar itu sampai ke pelabuhan. Jaraknya tidak dekat, dan kondisi puasa membuat tubuh saya cukup letih. Apalagi saya juga membawa tas gendong yang berat.
Yang membuat saya agak kesal adalah ketika perjalanan menuju pelabuhan, ibu itu akhirnya menyewa kuli panggul untuk membawakan barang-barang lainnya. Anehnya, barang yang saya bawa justru dibiarkan tetap di tangan saya, seolah itu sudah menjadi tanggung jawab saya sejak awal. Dalam hati saya mulai merasa ada yang tidak seimbang.
Di Antara Kebaikan dan Rasa Dimanfaatkan
Momen itu jujur membuat saya berpikir ulang. Di satu sisi, saya memang ikhlas membantu sejak awal. Saya tidak berharap imbalan apa pun. Tetapi, ketika bantuan itu terasa seperti dimanfaatkan tanpa ada sekadar ucapan terima kasih yang tulus, rasanya jadi lain. Ada rasa jengkel, apalagi dalam kondisi puasa dan perjalanan panjang yang menguras tenaga.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa random act of kindness memang tidak selalu berakhir dengan perasaan manis. Kadang, kebaikan kita justru menguji kesabaran. Kita bisa merasa senang karena membantu, tapi bisa juga merasa dimanfaatkan.
Namun, di situlah sebenarnya makna kebaikan diuji. Apakah kita hanya ingin melakukan kebaikan kalau ada balasan? Atau kita tetap bisa memberi, meski yang kita dapat hanyalah lelah dan sedikit rasa kesal?
Transportasi umum seperti KRL atau kereta lokal sering kali membuka mata. Di dalamnya, kita bertemu dengan berbagai macam karakter: ada yang ramah, ada yang cuek, ada yang rela berbagi kursi, ada juga yang berpura-pura tidur agar tidak ditawari untuk memberi tempat duduk. Semua berbaur dalam satu ruang yang sama.
Di sinilah nilai sosial itu muncul. Transportasi umum bukan sekadar alat untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga ruang untuk belajar empati, memahami orang lain, dan melatih kesabaran. Setiap interaksi kecil bisa menjadi cermin, bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang di sekitar.
Mungkin, ibu yang saya bantu itu bukan bermaksud memanfaatkan. Bisa jadi ia benar-benar lelah, kewalahan dengan barang bawaannya, dan lupa untuk menimbang bagaimana perasaan orang yang sudah membantunya. Saya mencoba memaklumi itu, meski tetap ada rasa kurang nyaman.
Makna Kebaikan yang Sesungguhnya
Dari pengalaman itu, saya menarik beberapa pelajaran. Pertama, membantu orang lain memang baik, tetapi kita juga perlu tahu batas kemampuan diri sendiri. Jangan sampai niat baik justru membuat kita terlalu terbebani, apalagi sampai mengorbankan kesehatan atau keselamatan.