Setiap tahun, 17 Agustus selalu jadi momen sakral bagi kita semua. Bendera merah putih berkibar di mana-mana, lagu-lagu nasional bergema, dan kita teringat kembali pada perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan segalanya demi satu kata: merdeka.
Tapi, sebetulnya, sudahkah kita benar-benar merdeka? Ataukah kemerdekaan itu cuma sebatas seremonial dan euforia yang datang setahun sekali?
Pertanyaan inilah yang menggelitik dan coba dijawab oleh seorang ulama cendekia yang sangat kita kenal, Prof. Dr. KH. Muhammad Quraish Shihab. Kalau nama beliau disebut, pasti langsung terbayang sosok yang teduh, kata-katanya penuh hikmah, dan cara penyampaiannya selalu menenangkan.
Beliau bukan cuma ahli tafsir Al-Qur'an terkemuka, tapi juga sosok intelektual yang pemikirannya selalu relevan dengan isu-isu kebangsaan. Beliau adalah salah satu ulama yang pandangannya mampu merangkul semua kalangan, lintas agama dan budaya.
Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama dan sampai saat ini aktif dalam berbagai kegiatan keilmuan dan dakwah, salah satunya melalui program Shihab & Shihab yang ia kelola bersama putrinya, Najwa Shihab.
Dalam sebuah segmen sebagaimana ditayangkan oleh TVNU melalui kanal Youtube-nya, Abi Quraish Shihab menyampaikan refleksi yang sangat dalam tentang kemerdekaan. Refleksi ini bukan sekadar puji-pujian atau ucapan selamat, melainkan sebuah ajakan untuk berintrospeksi.
Beliau menekankan bahwa sering kali, dalam proses perbaikan, ada hal-hal yang enggan kita sampaikan secara terbuka. Mungkin karena malu, takut, atau ingin menutupi kekurangan yang ada. Sikap ini, menurut beliau, sangat menghambat kemajuan.
Analogi yang beliau gunakan begitu sederhana, tapi mengena. Ia mengibaratkan teguran orang tua kepada anaknya. Ketika seorang ayah atau ibu menegur anaknya dengan keras karena berbuat salah, apakah itu bentuk kebencian? Tentu tidak. Itu adalah manifestasi dari cinta yang mendalam. Mereka menegur karena ingin anaknya berubah menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.
Sikap yang sama, seharusnya juga berlaku dalam konteks berbangsa. Kritik dan teguran yang keras, selama niatnya adalah untuk perbaikan, sesungguhnya adalah bentuk cinta yang paling murni kepada tanah air. Itu adalah cara kita "menegur" bangsa ini agar bisa melangkah lebih maju.
Selama ini, kita seringkali terjebak pada narasi "ganti orang." Kita berpikir bahwa jika pemimpinnya berganti, maka semua masalah akan selesai. Kiai Quraish Shihab dengan tegas membantah pandangan tersebut.
Menurutnya, manusia itu silih berganti. Pimpinan datang dan pergi. Yang jauh lebih penting dan harus menjadi fokus kita adalah perubahan nilai. Beliau mengajak kita untuk melihat ke dalam diri dan lingkungan sekitar.
Apa saja nilai-nilai negatif yang masih melekat pada bangsa ini? Sifat individualistis, korupsi, sikap malas, budaya instan, dan minimnya rasa empati, misalnya. Semua ini adalah "penyakit" yang harus kita sembuhkan bersama. Perubahan yang sejati tidak akan terjadi hanya dengan mengganti pimpinan atau sistem, tapi harus dimulai dari transformasi nilai-nilai negatif ini menjadi positif.
Abi Quraish Shihab mengajak kita untuk melihat ke dalam diri dan lingkungan sekitar. Apa saja nilai-nilai negatif yang masih melekat pada bangsa ini? Sifat individualistis, korupsi, sikap malas, budaya instan, dan minimnya rasa empati, misalnya.
Semua ini adalah "penyakit" yang harus kita sembuhkan bersama. Perubahan yang sejati tidak akan terjadi hanya dengan mengganti pimpinan atau sistem, tapi harus dimulai dari transformasi nilai-nilai negatif ini menjadi positif.
Bagaimana caranya? Beliau memberikan dua kunci utama: tekad dan kemampuan. Tekad adalah kemauan kuat yang lahir dari dalam diri. Itu adalah api yang membakar semangat kita untuk berubah. Tapi, tekad saja tidak cukup. Kita butuh kemampuan untuk mewujudkan tekad tersebut menjadi aksi nyata. Lalu, dari mana datangnya kemampuan ini? Kuncinya hanya satu: pendidikan.
Pendidikan yang dimaksud beliau bukan hanya pendidikan formal di sekolah, tapi juga pendidikan karakter, pendidikan moral, dan pendidikan diri. Pendidikan adalah fondasi yang akan melahirkan generasi-generasi dengan nilai-nilai positif, yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan punya integritas tinggi. Jika kita serius ingin melihat perubahan, kita harus investasi besar-besaran pada pendidikan, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk anak-anak kita.
Dengan demikian, pesan beliau begitu jelas: kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan sebuah perjalanan tanpa henti. Ia adalah seni untuk terus berbenah, belajar, dan tumbuh bersama.
Abi Quraish Shihab mengajak kita untuk kembali pada makna esensi kemerdekaan: bukan hanya bebas dari penjajah fisik, tetapi juga bebas dari penjajah-penjajah batin seperti kebohongan, kemalasan, dan ketidakpedulian. Biarlah semangat kemerdekaan itu tak hanya berhenti pada upacara, tapi meresap dalam setiap tindakan dan ucapan kita, hari ini, esok, dan selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI