Kualitas ini sangat jauh jika kita bandingkan dengan film animasi lokal sukses seperti Jumbo. Film seperti itu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun cerita yang solid, visual yang memanjakan mata, dan karakter yang kuat.
Tim yang terlibat pun terdiri dari para seniman yang berdedikasi tinggi. Prosesnya panjang dan biayanya besar, namun hasilnya adalah karya yang utuh dan membanggakan. Film Merah Putih: One For All justru terasa seperti proyek yang dikejar deadline dan kurang niat.
Identitas yang Terasa Canggung
Satu lagi poin yang mengganggu adalah identitas film ini. Mengklaim berjiwa nasionalisme, tapi judulnya menggunakan gabungan bahasa asing, "One For All". Bukankah ada kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang sama kuatnya, seperti "Satu untuk Semua"?
Penggunaan bahasa asing juga kabarnya merambah ke beberapa dialog film, padahal film ini bisa menjadi media yang baik untuk mempromosikan bahasa kita sendiri.
Bahkan, dalam narasinya juga penulisannya ada yang tidak pas, disingkat-singkat. Seperti penulisan kata "yang" menjadi "yg". Ini menimbulkan pertanyaan, apakah film ini dibuat untuk penonton lokal, atau hanya ingin terlihat "keren" dengan mengorbankan identitasnya?
Semoga ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi para seniman dan animator di Indonesia. Sebuah karya yang baik tidak cukup hanya bermodal niat atau tergiur pada dana. Ia harus didukung dengan eksekusi yang matang, dedikasi, dan niat tulus dalam berkarya. Niatlah yang akan membuat sebuah karya bertahan lama dan memiliki pesan yang kuat.
Mari kita dukung film-film animasi Indonesia yang berkualitas dan orisinal, yang lahir dari tangan-tangan kreatif yang berani bermimpi dan berkarya. Semoga ke depannya, perfilman animasi Indonesia bisa lebih maju dan membanggakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI