PDKT (pendekatan) bukan sekadar fase menuju cinta. Ia adalah proses yang kalau dilihat lebih jernih, sebenarnya mencerminkan bagaimana kita memandang diri sendiri, orang lain, dan relasi yang ingin kita bangun.
Namun sayangnya, dalam budaya populer, PDKT sering disederhanakan jadi taktik tarik-ulur, tebak-tebakan sinyal, dan permainan insting semata. Padahal, jika direnungkan lebih dalam, PDKT adalah cerminan dari karakter dan niat seseorang. Ia bisa menunjukkan seberapa dewasa kita dalam memelihara harapan - baik harapan orang lain, maupun harapan kita sendiri.
Dalam kultur kita, ungkapan perasaan sering dibungkus dengan sinyal samar. Banyak orang takut dianggap bucin, terlalu agresif, atau terlalu berharap. Akibatnya? Komunikasi jadi ruwet, padahal yang dibutuhkan hanyalah satu hal: keterbukaan.
PDKT menjadi arena di mana banyak orang berakting, bukan jadi diri sendiri. Yang pendiam jadi sok asik. Yang nggak pernah baca buku tiba-tiba suka puisi. Tapi setelah jadian atau makin kenal, topeng itu lepas. Dan kecewanya bukan karena orang itu berubah - tapi karena dari awal tidak jujur siapa dirinya sebenarnya.
Kita sering membahas soal "ilfeel" saat PDKT, tapi jarang membahas soal kenapa orang bisa menampilkan citra yang bukan dirinya sendiri hanya untuk disukai. Dan dari situ, kita seharusnya bertanya: apakah kita ingin dicintai karena versi palsu dari diri kita, atau karena kita apa adanya?
PDKT dan Problem Literasi Emosional
Masyarakat kita masih punya PR besar soal literasi emosi. Banyak yang salah kaprah memahami rasa suka sebagai hak untuk memiliki. Padahal, suka bukan berarti harus dimiliki. Terkadang perasaan cukup untuk dirayakan dalam diam, tanpa harus diklaim.
Banyak orang kecewa saat PDKT kandas, bukan karena patah hati, tapi karena merasa "sudah investasi banyak." Ini cara pandang transaksional terhadap hubungan. Seolah, jika aku sudah perhatian, maka kamu wajib membalas. Seolah cinta itu seperti beli pulsa: pasti ada balasan.
Padahal, cinta yang sehat bukan tentang imbal-balik instan, melainkan tentang kematangan menghadapi kemungkinan: bisa lanjut, bisa tidak. Dan kalau tidak, itu bukan berarti kita gagal. Tapi mungkin - kita sedang belajar mencintai dengan cara yang lebih benar.
Apakah PDKT Selalu Harus Berujung Jadian?
Pertanyaan ini penting. Karena banyak dari kita - entah karena tekanan sosial, atau obsesi akan hubungan - merasa PDKT yang tidak berujung jadian itu sia-sia.
Padahal, tidak semua relasi harus berakhir dalam status. Ada relasi yang hanya hadir untuk mengajarkan kita batas. Ada pertemuan yang hanya datang untuk menunjukkan bagaimana memperlakukan orang lain, dan bagaimana kita ingin diperlakukan.
Di sinilah nilai budaya kita diuji. Kita diajarkan untuk menjunjung tinggi sopan santun, tapi ironisnya, saat PDKT, banyak yang malah memutuskan kontak begitu saja tanpa penjelasan - alias ghosting. Ini bukan soal etika digital, tapi soal kemanusiaan. Sebab, rasa hormat tak hanya ditunjukkan saat awal mendekat, tapi juga saat kita memutuskan untuk pergi.
PDKT, Tapi Mau ke Mana?
Ini pertanyaan yang paling jarang ditanyakan, padahal paling penting. Banyak orang merasa nyaman saat didekati, tapi tak tahu arahnya. Apakah sekadar teman ngobrol? Atau penjajakan serius?
Ketidakjelasan inilah yang sering membuat seseorang merasa dijadikan "parkiran hati sementara". Dan lebih menyedihkan lagi, kadang yang memarkir tahu bahwa ia tidak akan menetap - tapi tetap bertahan demi kenyamanan sesaat.
Maka, hal paling jujur dalam PDKT adalah bertanya (dan menjawab): Sebenarnya kamu sedang mencari apa? Teman? Pacar? Pendengar? Atau hanya pelarian? Kejelasan seperti ini bukan hanya adil untuk orang lain, tapi juga menyelamatkan diri kita dari hubungan yang menggantung dan menyiksa.
PDKT Bukan Sekadar Proses, Tapi Juga Cermin
Pada akhirnya, PDKT adalah ruang cermin. Ia memperlihatkan siapa kita, bagaimana kita memperlakukan orang lain, dan bagaimana kita menghadapi ketidakpastian.
Jika kita bisa mendekati orang dengan niat yang bersih, komunikasi yang jelas, dan sikap yang dewasa - maka kita bukan hanya sedang mencari pasangan, tapi juga sedang bertumbuh menjadi manusia yang lebih utuh.
Dan buatmu yang pernah merasa disia-siakan di fase PDKT, tenang saja. Kadang, patah hati paling dini justru adalah perlindungan paling awal dari Tuhan, agar kamu tidak salah tempat menaruh cinta.
Karena yang sungguh mencintaimu, tidak akan membuatmu merasa bingung tentang perannya dalam hidupmu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI