Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Love

PDKT: Antara Nyali, Rasa, dan Kejelasan

25 Juli 2025   10:22 Diperbarui: 25 Juli 2025   10:22 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PDKT (pendekatan) bukan sekadar fase menuju cinta. Ia adalah proses yang kalau dilihat lebih jernih, sebenarnya mencerminkan bagaimana kita memandang diri sendiri, orang lain, dan relasi yang ingin kita bangun.

Namun sayangnya, dalam budaya populer, PDKT sering disederhanakan jadi taktik tarik-ulur, tebak-tebakan sinyal, dan permainan insting semata. Padahal, jika direnungkan lebih dalam, PDKT adalah cerminan dari karakter dan niat seseorang. Ia bisa menunjukkan seberapa dewasa kita dalam memelihara harapan - baik harapan orang lain, maupun harapan kita sendiri.

Dalam kultur kita, ungkapan perasaan sering dibungkus dengan sinyal samar. Banyak orang takut dianggap bucin, terlalu agresif, atau terlalu berharap. Akibatnya? Komunikasi jadi ruwet, padahal yang dibutuhkan hanyalah satu hal: keterbukaan.

PDKT menjadi arena di mana banyak orang berakting, bukan jadi diri sendiri. Yang pendiam jadi sok asik. Yang nggak pernah baca buku tiba-tiba suka puisi. Tapi setelah jadian atau makin kenal, topeng itu lepas. Dan kecewanya bukan karena orang itu berubah - tapi karena dari awal tidak jujur siapa dirinya sebenarnya.

Kita sering membahas soal "ilfeel" saat PDKT, tapi jarang membahas soal kenapa orang bisa menampilkan citra yang bukan dirinya sendiri hanya untuk disukai. Dan dari situ, kita seharusnya bertanya: apakah kita ingin dicintai karena versi palsu dari diri kita, atau karena kita apa adanya?

PDKT dan Problem Literasi Emosional

Masyarakat kita masih punya PR besar soal literasi emosi. Banyak yang salah kaprah memahami rasa suka sebagai hak untuk memiliki. Padahal, suka bukan berarti harus dimiliki. Terkadang perasaan cukup untuk dirayakan dalam diam, tanpa harus diklaim.

Banyak orang kecewa saat PDKT kandas, bukan karena patah hati, tapi karena merasa "sudah investasi banyak." Ini cara pandang transaksional terhadap hubungan. Seolah, jika aku sudah perhatian, maka kamu wajib membalas. Seolah cinta itu seperti beli pulsa: pasti ada balasan.

Padahal, cinta yang sehat bukan tentang imbal-balik instan, melainkan tentang kematangan menghadapi kemungkinan: bisa lanjut, bisa tidak. Dan kalau tidak, itu bukan berarti kita gagal. Tapi mungkin - kita sedang belajar mencintai dengan cara yang lebih benar.

Apakah PDKT Selalu Harus Berujung Jadian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun