Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Scroll, Like, Repeat": Ketika Hidup Kita Tergelincir di Layar Kecil

19 Juli 2025   17:00 Diperbarui: 19 Juli 2025   16:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Freepik

Pernahkah kamu merasa tidak berguna setelah membuka Instagram? Atau cemas karena tidak bisa membalas semua DM dalam sehari? Jika iya, kamu tidak sendirian. Selamat datang di era “scroll, like, repeat” — ritual digital yang diam-diam menggerogoti ketenangan jiwa banyak anak muda.

Media sosial, dengan segala kemilau dan kilas kebahagiaannya, kini tak ubahnya cermin retak yang memantulkan citra semu. Di balik senyum-senyum penuh filter, ternyata banyak yang menyimpan luka, cemas, bahkan trauma. Apalagi bagi Generasi Z, yang lahir dan besar bersama internet, media sosial bukan hanya hiburan — ia adalah identitas, ruang sosial, bahkan panggung eksistensi.

Statistik tak pernah bohong. Dari 143 juta lebih pengguna media sosial di Indonesia, satu dari tiga remaja dilaporkan mengalami gangguan kesehatan mental. Ironis, karena medium yang mestinya menyatukan, kini menjadi ladang perbandingan yang melelahkan. Scroll TikTok, kamu melihat orang lain punya karier mapan di usia 21. Buka Instagram, temanmu yang dulu biasa-biasa saja kini keliling dunia.

Kita pun mulai bertanya dalam diam: Apa yang salah dengan hidupku?

Pertanyaan inilah yang jadi bibit dari keresahan kolektif: kecemasan, burnout, gangguan tidur, bahkan depresi ringan hingga berat. Di satu titik, media sosial yang semula menyenangkan berubah jadi candu. Kita mengecek notifikasi setiap lima menit, merasa tertinggal jika tidak aktif, dan mengukur harga diri lewat jumlah like.

Dalam salah satu video yang saya saksikan kemarin, sebagaimana diunggah oleh Narasi Academy, ada seseorang bercerita mengenai kecanduan dirinya terhadap media sosial hingga merasa kehilangan dirinya sendiri. Ia merasakan ketergantungan akut — cemas saat tidak membuka aplikasi, dan merasa hampa tanpa validasi digital. Tekanan sosial di dunia maya membuatnya terus berkompetisi, bahkan dengan dirinya sendiri.

Namun titik balik datang ketika ia memutuskan untuk perlahan melepaskan. Dengan bantuan psikolog dan disiplin pribadi, ia mempraktikkan digital detox. Meditasi, waktu tanpa gawai, hingga belajar menerima bahwa “hidup yang tidak dibagikan ke media sosial tetap sah untuk dinikmati.”

Literasi Digital: Tameng di Era Disrupsi

Generasi Z sering disebut cakap digital. Tapi kecakapan bukan berarti kebal. Banyak dari kita tahu cara menggunakan teknologi, namun belum tentu tahu cara menggunakannya dengan bijak.

Inilah pentingnya literasi digital, bukan sekadar kemampuan teknis, tapi juga kesadaran etis dan emosional. Kita harus belajar mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya. Bijak dalam konsumsi konten, tahu kapan harus berhenti, dan berani berkata: “cukup.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun