Dan yang tak kalah penting: sadari bahwa media sosial hanya sebagian kecil dari realitas. Ada kehidupan nyata yang menunggu kita — percakapan tanpa notifikasi, senyum tanpa filter, pelukan tanpa emoji.
Menemukan Keseimbangan
Seperti kopi, media sosial bisa memberi energi atau membuat kita gelisah, tergantung takarannya. Maka bukan soal berhenti sepenuhnya, tapi menemukan takaran yang pas. Misalnya, membatasi waktu online, mengaktifkan focus mode, menyisihkan waktu tanpa layar, dan mengganti doomscrolling dengan kegiatan yang lebih sehat.
Jika kamu merasa mulai kewalahan, jangan ragu mencari bantuan profesional. Konseling bukan tanda lemah, melainkan keberanian untuk sehat. Sama seperti tubuh, pikiran kita juga butuh istirahat, perawatan, dan ruang bernapas.
Hidup Lebih dari Sekadar Feed
Dalam dunia yang serba cepat dan terkoneksi, kita mudah lupa bahwa hidup bukan kompetisi highlight. Bukan siapa yang paling banyak followers, paling cepat sukses, atau paling estetik.
Hidup adalah soal merasakan. Menangis tanpa takut dinilai, gagal tanpa harus diumumkan, dan tumbuh dalam diam. Karena akhirnya, yang kita butuhkan bukan lebih banyak likes, tapi lebih banyak kedamaian.
Jadi, kalau hari ini kamu merasa lelah karena dunia digital, tak apa. Matikan layar sejenak. Tarik napas. Peluk dirimu sendiri. Dan bisikkan: Aku cukup. Tanpa filter, tanpa penilaian, aku cukup.
“Media sosial adalah alat, bukan tuan. Gunakan ia untuk terhubung, bukan untuk kehilangan arah.”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI