Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

MBG dan Harga Sebuah Rasa: Saat Makan Bergizi Tak Lagi Mengundang Selera

17 Juli 2025   15:51 Diperbarui: 17 Juli 2025   15:52 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang siswa menyantap makan siang MBG di sekolah, di tengah sorotan soal mutu dan rasa hormat dalam layanan pangan. (Reuters/Willy Kurniawan).

Maka ketika BGN mengimbau pemanasan ulang dan pemilihan menu yang "tidak berisiko menimbulkan isu", itu tentu langkah baik. Tapi perlu langkah yang lebih substansial. Yakni memperlakukan makanan sekolah seperti kita memperlakukan makanan di rumah: dengan empati, bukan efisiensi semata.

Bayangkan jika dapur penyedia makanan MBG bekerja seperti dapur rumah: mengenal siapa yang makan, memikirkan bagaimana makanan itu sampai ke anak-anak, dan menaruh respek pada tiap elemen penyajian. Dari kualitas bahan, suhu makanan, hingga tampilan dan rasa. Mungkin sederhana, tapi itulah cara kita bisa membangun pengalaman makan yang berkesan.

Saatnya Mengubah MBG Jadi Gerakan Kultural, Bukan Sekadar Proyek Nasional

Makan Bergizi Gratis bisa jadi proyek luar biasa — asal tidak berhenti di label “bergizi”. Ia bisa menjadi momentum budaya, pendidikan rasa, bahkan diplomasi cinta dari negara kepada generasi muda. Tapi hanya jika kita melihat makan bukan sekadar kebutuhan logistik, melainkan sebagai pengalaman emosional dan sosial yang tak tergantikan.

Kita bisa mulai dengan mendidik para penyedia makanan, bukan hanya tentang kebersihan, tapi tentang psikologi makan. Tentang bagaimana anak-anak memandang makanan. Tentang pentingnya tampilan, aroma, dan konsistensi. Bisa juga dengan melibatkan siswa dalam memberi masukan atas menu. Atau membuat forum rutin antara penyedia dan penerima makanan agar terbangun kepercayaan dua arah.

Karena dalam setiap kotak makan itu, harusnya membawa pesan: “Kami peduli padamu.” Dan jika pesan itu sampai, barulah MBG bukan hanya mengenyangkan perut — tapi juga membangun perasaan dihargai. Dan itu, lebih penting dari sekadar angka gizi.

Jika makan siang bisa menjadi pelajaran tentang empati, maka MBG punya kesempatan besar. Tapi kalau tidak hati-hati, ia justru bisa menjadi pelajaran pahit tentang bagaimana niat baik bisa basi — jika disajikan tanpa cinta dan empati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun