Dalam setiap keluarga, kita selalu ingin meyakini bahwa tidak ada yang ditutupi, apalagi urusan besar seperti utang. Tapi hidup tidak sesederhana itu. Ada kalanya, di balik senyum dan obrolan ringan di meja makan, tersimpan beban yang tidak semua orang tahu. Bukan karena niat menyembunyikan, tetapi kadang karena rasa malu, takut merepotkan, atau sekadar ingin dianggap mampu.
Bayangkan suatu hari, kita kedatangan seseorang yang asing — seorang penagih utang. Ia menyebut nama saudara kita. Suasana yang tadinya tenang, mendadak berubah. Syok, cemas, bingung, campur aduk. Lalu kita sadar, seseorang yang selama ini duduk bersama kita tiap malam, rupanya sedang bergulat diam-diam dengan masalah finansialnya sendiri.
Lalu bagaimana kita bersikap?
Pertama-tama, dalam situasi semacam ini, yang paling penting bukan langsung mencari siapa salah siapa. Tapi mencari ruang aman untuk duduk dan bicara. Tentu saja, rasa kecewa pasti ada. Bahkan mungkin ada sedikit marah karena merasa tidak dipercaya. Tapi kita harus sadar, tidak semua orang tumbuh dengan keberanian yang sama untuk terbuka. Kadang, justru karena ingin menjaga perasaan keluarga, seseorang menanggung beban sendirian. Sayangnya, niat baik itu bisa jadi bumerang.
Komunikasi: Menumbuhkan Ruang Bicara, Bukan Hakim dan Tersangka
Kunci utama dalam menghadapi situasi ini adalah komunikasi yang jujur dan empatik. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami. Ajak saudara yang berutang itu duduk, bukan di tengah semua anggota keluarga yang menatap dengan wajah tegang, tapi cukup dengan beberapa orang terdekat terlebih dahulu. Buka pembicaraan dengan nada hangat. Tanyakan, "Apa yang terjadi? Bisa cerita dari awal?"
Biasanya, orang yang terjebak utang, apalagi pinjaman online yang berbunga besar, sudah sangat tertekan. Mereka tahu mereka salah, tapi sering kali tidak tahu harus ke mana. Maka tugas kita sebagai keluarga bukan menambah tekanan, melainkan jadi jangkar agar ia tidak tenggelam lebih dalam.
Mencari Solusi Bersama, Bukan Solusi Instan
Setelah tahu duduk perkaranya, barulah diskusikan solusi. Jika memungkinkan, bantu lunasi secara gotong royong. Tapi yang terpenting, beri pemahaman bahwa bantuan ini bukan tanpa syarat: harus ada perubahan pola pikir dan pola hidup.
Jika sumber masalahnya adalah manajemen keuangan yang buruk, ajak ia ikut diskusi keuangan keluarga. Jika karena kebutuhan mendesak seperti biaya pendidikan atau kesehatan, bantu cari solusi yang lebih sehat di masa depan — entah itu menabung bareng, membuat dana darurat keluarga, atau mendorong keterbukaan soal kesulitan finansial.
Buat kesepakatan: bukan untuk mengikat, tapi untuk mengingatkan. Misalnya, "Kalau ada kebutuhan mendesak lagi, jangan sungkan cerita ya. Kita mungkin nggak bisa bantu sepenuhnya, tapi kita bisa cari jalan bareng."
Mencegah agar Tidak Terulang: Budaya Terbuka dalam Keluarga
Kejadian seperti ini jadi pengingat bahwa keterbukaan di keluarga tidak bisa hadir begitu saja. Ia harus dibangun. Dimulai dari obrolan kecil sehari-hari, dari mendengar tanpa menyela, dari tidak menertawakan masalah orang lain. Karena seringkali, orang menutup diri bukan karena tak mau bercerita, tapi karena tak merasa aman untuk bercerita.
Bisa dimulai dengan hal-hal kecil: membahas keuangan keluarga secara terbuka, mengajak anggota keluarga yang lebih muda ikut rapat keluarga, atau membuat forum informal seminggu sekali untuk sekadar berbagi kabar dan cerita. Mungkin terdengar remeh, tapi itulah yang membuat seseorang merasa, "Oh, ternyata aku nggak sendiri."
Masalah utang bisa selesai dengan pelunasan. Tapi kepercayaan yang retak butuh lebih dari itu. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi memilih untuk tetap berjalan bersama sambil belajar dari kesalahan.
Mungkin, untuk sementara waktu, akan ada jarak. Tapi jangan biarkan jarak itu tumbuh jadi dinding. Ajak kembali beraktivitas bersama, libatkan dalam keputusan keluarga, dan perlahan tunjukkan bahwa kita semua belajar. Yang paling penting, jangan pernah membiarkan satu anggota keluarga merasa seperti beban, apalagi musuh.
Karena keluarga sejatinya bukan sekadar tempat pulang, tapi tempat untuk saling menyembuhkan. Dan dari luka inilah, kadang muncul kekuatan baru yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan.
Kita semua belajar dari peristiwa seperti ini. Belajar untuk lebih peka. Belajar untuk lebih terbuka. Dan yang paling penting, belajar bahwa tidak ada satu pun dari kita yang harus berjalan sendirian. Dalam keluarga, semua bisa dibicarakan. Semua bisa dicari jalan tengahnya. Dan semua bisa disembuhkan — asal kita mau duduk bersama, mendengar, dan saling menguatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI