Bisa dibilang, membaca turots adalah bentuk perlawanan lembut terhadap rasa rendah diri. Dan lebih dari itu, ia adalah ajakan untuk kembali menyadari: kita punya akar yang dalam. Dan bangsa yang tahu akarnya, tidak mudah goyah diterpa zaman.
Bukan Cuma Proyek, tapi Gerakan
Target dari program ini ialah mendokumentasikan 500 naskah kuno hingga 2026. Tapi di balik angka itu, ada semangat yang lebih besar: membuat turots kembali hidup di hati masyarakat. Bukan sekadar dibaca oleh akademisi, tapi dirasakan maknanya oleh semua orang.
Turots bukan hanya milik pesantren atau kiai. Ia milik siapa pun yang mau belajar dari sejarah dan mencari arah di masa kini.
Pameran turots di Kudus ini menyampaikan pesan sederhana tapi kuat: ilmu dari masa lalu masih sangat relevan untuk hari ini. Kita tidak harus terus mencari ke luar negeri untuk merasa maju. Mungkin, yang kita cari selama ini sudah ada di rak-rak kayu, dalam lembaran kertas usang, dan dalam nama-nama ulama yang hampir terlupakan.
Mereka menulis bukan untuk dikenang, tapi untuk dibaca. Dan kalau hari ini kita mulai membaca mereka lagi, berarti kita sedang berjalan ke arah yang benar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI