Di ujung timur negeri ini,
di peluk lautan jernih dan karang surgawi,
Raja Ampat bersenandung pilu,
tercekik debu nikel dan janji palsu.
Langit Papua masih biru,
tapi hatinya mendung membiru.
Bukan karena hujan -
melainkan keserakahan manusia berkedok pembangunan.
Katamu, ini untuk kemajuan.
Katamu, bumi takkan terasa kerusakan.
Tapi bagaimana bisa,
logika kalian menafsir tambang sebagai berkah dari surga?
Sedang kami lihat pohon tumbang,
ikan-ikan hilang,
anak-anak kehilangan pantai tempat bermain,
dan doa-doa kami ditenggelamkan oleh alat berat dan kontrak yang tak terbaca terang.
Para petinggi negeri,
yang duduk manis di ruang ber-AC dengan dasi.
Apa kalian benar-benar percaya
alam bisa kembali seperti sedia kala?
Para pemuka agama,
yang katanya penjaga moral bangsa.
Mengapa diam saat ciptaan Tuhan diperlakukan tanpa rasa?
Surga yang tersisa di tanah Papua sedang dipaksa menjadi neraka.
Mau sampai kapan kalian pura-pura tuli,
saat rakyat menangis bukan karena iri -
tapi karena rumah mereka dihancurkan atas nama investasi?
Apakah perut para petinggi
belum cukup kenyang hingga harus mengorek isi bumi?
Sedangkan rakyat Papua,
masih makan dari laut yang kini berlumur racun dan sunyi.
Raja Ampat menangis dalam senyap,
karangnya pecah, lautnya gelap.
Malu rasanya menyebut ini negeri kaya,
kalau kekayaan hanya untuk segelintir yang punya kuasa.
Hari ini kami bersuara -
esok mungkin tinggal debu cerita.
Tapi ingatlah, tak ada negara besar yang bisa berdiri tegak di atas luka-luka warganya sendiri.