Mohon tunggu...
I Putu Dharmanu Yudartha
I Putu Dharmanu Yudartha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

give me the truth

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Permasalahan Dana Alokasi Umum

11 Desember 2014   04:55 Diperbarui: 4 April 2017   17:02 3703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sistem  tidak ada yang abadi segalanya pasti mengalami perubahan, reformasi, hingga revolusi. Fase ini telah dirasakan dan coba dilalui bangsa Indonesia menuju arah yang lebih baik. Inilah tujuan reformasi dihembuskan kedalam nafas-nafas mahasiswa serta agen-agen perubahan lainnya yang telah lama terbelenggu dalam sistem otoriter. Reformasi dimulai ketika media diberi ruang yang luas untuk ‘bersuara’ atau lebih dikenal dengan kebebasan pers, karena ada yang beranggapan bahwa media menjadi pilar keempat dalam demokrasi. Demokrasi yang disuarakan dalam gerakan reformasi sebagai antithesis dari sistem otoriter, maka para pakar, ilmuwan, aktivitis dan stakeholder berusaha merumuskan sistem pemerintahan yang ideal dengan tetap mengutamakan demokrasi. Berbicara demokrasi teringat kata-kata karya soekarno bahwa demokasi akan kita ‘gali’ sendiri seperti halnya pancasila, demokrasi kita bukan demokrasi ala amerika. Hegemoni demokrasi inilah kemudian menghasilkan suatu sistem baru dalam tatanan pemerintahan di negara Indonesia yaitu desentralisasi. Sebagian masyarakat berpandangan bahwa sistem desentralisasi merupakan jawaban dari permasalahan sentralisasi pemerintahan yang cenderung ototriter.

Desentralisasi tercipta untuk membangun political equality di tingkat lokal atau menciptakan demokrasi di daerah. Karena selama ini terkait kebijakan yang diciptakan oleh pemerintahan sentralistis tidak sesuai dengan keinginan daerah. Jadi pengambilan keputusan langsung berada di daerah (power over decision making) langsung ada di pemerintah daerah sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang responsive, akuntabel, efisien dan efektif. Sistem desentralisasi dimulai ketika munculnya UU no 22 tahun 1999, peraturan ini menegaskan fungsi-fungsi atau kewenangan baru yang  dimiliki oleh daerah sehingga memunculkan daerah-daerah yang otonom (otonomi daerah). Tetapi pandangan otonomi daerah dianggap hanya mengelola pemerintahan di daerah atau membagi kewenangan antara pusat daerah saja. Perpektif keliru inilah yang coba kembali untuk diluruskan agar sejalan dengan prinsip otonomi daerah yaitu bahwa desentralisasi tidak dimaksudkan memberikan otonomi hanya kepada pemerintah daerah, tetapi lebih dari itu harus memperkuat peran dan kedudukan warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal (Prasojo dalam Halim, 2009:146).

Desentralisasi fungsi atau pemberian kewenangan ke daerah-daerah harus diikuti oleh desentralisasi fiscal (keuangan) karena daerah membutuhkan sumber-sumber pendapatan baru dan perimbangan keuangan untuk menjalankan fungsi tersebut (money follows function). Salah satunya DAU (Dana Alokasi Umum) yang menjadi bagian dana perimbangan, selain itu ada DAK (Dana Alokasi Khusus). DAU sebenarnya bertujuan menjaga peimbangan atau pemerataan antar daerah yang dibagi berdasarkan kebutuhan daerah yang tercermin dari jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan masyarakat (Salam dalam Harris, 279;2007). Dana Alokasi Umum sebagai bentuk perhatian pemerintah pusat dan mencegah ketimpangan fiscal, walaupun telah dilakukandesentralisasi fiscal ternyata terjadi perbedaan yang signifikan antar daerah atau ada daerah kaya dan daerah miskin. Daerah yang kaya akan SDA makan Dana Bagi Hasil akan dominan, demikian juga daerah metropolitan, daerah wisata dan daerah pusat perekonomian maka pajak daerah menjadi dominan. Jadi DAU ini guna menciptakan horizontal fiscal imbalance antara daerah satu dengan yang lain dan vertical fiscal imbalance antara pemerintah pusat dan daerah. DAU cenderung bersifat subsidi atau block grant yang dimaksud bahwa pemerintah daerah berhak mempergunakan sesuai dengan prioritas utama atau sesuai dengan kebutuhan daerah. Pemerintah pusat juga tidak berhak mencampuri penggunaan DAU oleh daerah/kota dengan proporsi adalah 26% dari penerimaan dalam negeri kemudian 10% diserap oleh propinsi dan 90% untuk seluruh kabupaten/kota.Dana Alokasi Umum (DAU) menurut UU no 33 tahun 2004 bertujuan mengurangi atau menutup fiscal gap daerah, daerah mampu memenuhi kebutuhan berdasar prioritas tertentu, dan mendorong kemajuan suatu daerah.

Permasalahan dalam implementasinya, DAU  banyak terserap di belanja pegawai menjadi hal yang krusial di daerah. Karena urgensi dari belanja tidak sejalan dengan pembangunan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada. Pemberian DAU untuk gaji pegawai tidak sejalan perampingan pegawai sesuai dengan kebutuhan yang ada. Memang berjalannya desentralisasi harus diikuti dengan transfer anggaran ke daerah terutama dalam bentuk block grant, spesific grant, dana hibah. Hal ini berkaitan dengan prinsip money follow function karena pemberian fungsi dan kewenangan untuk mengurus permasalahan di daerah. Tetapi fungsi yang dijalankan daerah tidak sesuai dengan kinerjanya inilah menjadi masalah kedepannya. Pemanfaatan DAU sangat berhubungan dengan talik-ulur hubungan antara pusat dan daerah terutama di sektor keuangan, yaitu :

(a).Terjadi ambivalen secara ideologis maupun teknis, artinya permasalahan pegawai cenderung bagian sebuah pendulum yang menuju ke arah permainan kepentingan antara pusat dan daerah. Daerah dituntut memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkompenten dalam menunjang kinerja desentralisasi tetapi secara teknis penerimaan pegawai sebagai lahan politis dan ekonomis (dilihat secara teknis). Lahan politis terjadi di dua pihak, pertama pusat terjadi ketika kemenpan di tahun 2004 mengangkat seluruh tenaga honorer dengan menghiraukan nilai kompetensinya. Kemudian ini menjadi politik pencitraan calon imcumbent, perhatiannya akan nasib pegawai. Kedua, daerah pun tidak mau ketinggalan ketika penerimaan pegawai cenderung mengakomodir para tim sukses calon yang memang atau menjadi janji kampanye mereka. Dari segi ekonomis, pusat dengan memberikan posisi pegawai kepada daerah tanpa indikator yang jelas dan cenderung menjadi deal-deal dengan pemerintah daerah. Demikian juga daerah, bahwa isu mengenai masuk menjadi PNS harus membayar sejumlah uang bukan isapan jempol belaka ini menjadi lahan korupsi yang menggiurkan.

(b).Desentralisasi pada dinamika perjalannya terjadi “bias” hubungan birokrat dengan masyarakat. Ini terlihat kebijakan yang dibuat lebih mencerminkan top-down daripada bottom up, hal ini persepsi yang keliru karena berbicara desentralisasi harus mengetahui aspirasi di daerah itu sendiri. Begitu halnya dengan penerimaan pegawai tidak tahu akan ugensi atau kualifikasi yang dibutuhkan karena pemerintahan daerah kurang mengetahui tuntutan, tantangan serta situasi yang berkembang di masyarakat. Apakah dengan menambah pegawai dapat mengatasi masalah tetapi disatu sisi tidak mengetahui masalah riil di daerah dan akibatnya penerimaan pegawai justru menambah masalah guna membiayai hidup mereka sampai meninggal.

(c).DAU untuk pembangunan sulit untuk diterapkan karena kedepan hanya menjadi retorika belaka. DAU banyak terserap untu belanja pegawai hal ini sangat tidak efektis. Kita tidak mungkin meningkatkan DAU karena pos-pos anggaran negara selalu defisit. Dan kebijakan reformasi birokrasi yang diharapkan menjadi jalan terang menjadi jalan gelap kedepannya, karena reformasi birokrasi dilakukan dengan remunerasi pegawai. Ini hanya konyol yang dilakukan pemerintah saat ini, maka beban anggran yang harus dibayar oleh pemerintah untuk remunerasi tersebut.

(d).Ketidak efektifan pemanfaatan DAU karena tidak ukuran kinerja yang jelas dari DAU tersebut. Seharusnya DAU yang diberikan juga diikuti target kinerja yang kemudian dilaporkan kepada Menkeu. Saat ini tidak saksi yang tegas yang jelas serta kontrol seperti apa, ini permasalahan yang terjadi. Daerah seenak saja menggunakan DAU asal dapat terserap dengan baik tanpa mementingkan outcome dan impact dari DAU itu sendiri.

Memang dibutuhkan agenda secara terstruktur untuk mengatasinya dan tidak hanya melihat dari satu sisi saja. Merencanakan, merumuskan hingga mengimplementasikan serta mengevaluasi perlu memandang di berbagai dimensi. Maka disini saya mencoba merekomendasikan alternatif kebijakan dengan kajian yang ada,yaitu :

(a) Mendorong peningkatan kapasitas fiskal di daerah, permasalahan ini banyak dialami oleh daerah-daerah terutama daerah yang miskin sumber daya alam. Tetapi tidak menutup kemungkinan kaya akan potensi alamnya menjadi daya tarik pariwisata.

(b) Kontrol terhadap DAU perlu ditingkat, saksi terhadap kinerja daerah yang buruk berdampak pada pengurangan DAU. Dalam pemberian DAU perlu ada perjanjian misalnya, hanya boleh untuk gaji pegawai beberapa persen dan selebihnya untuk pembangunan. Ataupun bisa juga ada indikator kinerja aparat birokrasi yang dicapai dalam pemberian DAU kepada daerah. Karena yang membayar aparat birokrasi di daerah adalah pemerintah pusat, maka pemerintah pusat berhak mengatur kinerja aparat yang sesuai.

(c) Kedepannya pemerintah tidak ragu melakukan rightsizing perampingan birokrasi. Pemerintah pusat mengevaluasi secara mendalam pegawai-pegawai yang ada di daerah sudah sesuai dengan kebutuhannya dan jangan sampai terjadi birokrasi menjadi “bengkak”. Desentralisasi memang memberikan kewenangan ke daerah tetapi perlu ada kontrol yang kuat, kemudian terdapat pegawai-pegawai yang tidak berkompeten dilakukan kebijakan pensiun dini.

Referensi:

Haris,Syamsuddin Ed (2007), Desentralisasi & Otonomi daerah (Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintah Daerah). LIPI Press, 2007

Halim, Abdul. Mujib, Ibnu. Ed (2009), Problem Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah. Sekolah Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun