".....Dan saking sayangnya, kamu tetap usaha bahkan saat dia udah nggak ada!" Suaranya tercekat saat dia mengucapkan kalimatnya yang terakhir, lalu ia langsung masuk ke mobil, membanting pintunya, dan pergi. Aku tau dia akan kembali, setidaknya hal itu membuatku lega.
(Sebelumnya: Takkan Terganti (Eps. 4))
Aku kembali menyusuri lorong rumah sakit, berjalan menuju ruang perawatan adikku, dan sampai sekarang ini aku masih memikirkan kata-kata ayahku tadi, ia pasti kecewa, dan akulah yang telah mengecewakannya.
Aku memandangi Diffin, melirik ke jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tujuh menit, lalu melihat handphone Diffin yang terletak di dekat tas ranselnya, aku ingat tadi malam seorang suster meletakkan barang-barang itu di atas meja di sebelah sofa tempatku berbaring saat ini.
Aku bangkit dan meraih ponselnya, menekan sleep/wake button dan ternyata handphonenya masih aktif, hanya saja Diffin memasang password untuk mengunci handphonenya. Aku menyentuh tulisan Emergency di layar handphone. Diffin menggunakan sebuah applikasi kesehatan di iPhonenya, dari situ aku bisa melihat daftar emergency contacts yang sudah disetting Diffin.
Aku tersenyum pahit melihat empat kontak yang dipilih Diffin, di layar hapenya tertulis; Tante Lira, Mbak Alina, Bi Imah dan Om Darma. Aku mengerti bahwa aku dan ayahku bahkan tidak lulus kriteria agar kontak kami juga bisa tertera dalam daftar tersebut, nggak mungkin banget kalau Diffin kenapa-kenapa, aku yang sedang berada di Belanda sana yang harus diberitahu pertama kali, dan bukan juga ayahku, yang menghabiskan separuh harinya di atas awan.
Aku terkejut saat Diffin tersentak bangun dari tidurnya, aku pun langsung meletakkan kembali handphonenya di posisi semula, dan bangkit untuk mendekatinya, membantunya untuk duduk. Kulihat Diffin menghela napas, lalu tangan kanannya, yang ditusuk selang infus, meraba bagian kanan kepalanya.
"God..it hurts.." desahnya pelan.
Dia pun menatapku, matanya basah dan mata kanannya sangat merah saat itu, mata yang mirip mata ibuku.
"Gue panggilin dokter dulu deh." ucapku panik.
"Bang.. !" panggilnya menghentikan langkahku diambang pintu, "nggak usah deh, gue nggak Papa."