Mohon tunggu...
aldridge christian seubelan
aldridge christian seubelan Mohon Tunggu... Blogger dan Marketeers

Aldridge Christian Seubelan, yang biasa dikenal dengan panggilan AL adalah seorang brand dan digital marketers. Ia merupakan mahasiswa dari jurusan teknik komputer / sistem komputer di Universitas Bina Nusantara. Saat ini bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi swasta di Indonesia sebagai Digital Marketing dan juga menulis artikel blog seputar dunia marketing

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Leadership itu Berat, Tapi Gak Harus Selalu Kuat Sendiri Kamu

27 Agustus 2025   22:22 Diperbarui: 27 Agustus 2025   22:22 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau lihat judul diatas, kamu sependapatkah?

Ada satu percakapan yang sampai hari ini masih membekas di kepala saya. Seorang teman yang memimpin tim cukup besar tiba-tiba berkata dengan nada lelah: "Capek gue bukan karena kerjaannya, tapi karena harus terus kelihatan kuat. Kalau gue goyah sedikit, gimana nasib tim gue?" Kalimat itu sederhana, tapi mengandung pergumulan yang dalam. Banyak pemimpin hari ini jatuh dalam kelelahan bukan semata karena tumpukan tugas atau tekanan target, melainkan karena perasaan bahwa mereka tidak boleh terlihat rapuh. Mereka merasa harus menjadi batu karang yang tidak tergoyahkan, meski di dalamnya sedang rapuh dan nyaris runtuh.

Di permukaan, leadership memang tampak seperti sebuah panggung. Orang lain melihat sosok yang percaya diri, mengarahkan tim dengan mantap, berbicara dengan penuh keyakinan di depan stakeholder, dan tersenyum meyakinkan saat semua mata tertuju kepadanya. Tapi sedikit sekali yang tahu bahwa di balik panggung itu, sering kali ada hati yang sedang kelelahan. Ada kepala yang dipenuhi kegelisahan karena target yang terus menekan, ada hati yang tertekan karena harus menyenangkan semua pihak, dan ada jiwa yang diam-diam berteriak karena ingin berhenti sejenak, namun tidak tahu caranya. Leadership, dalam segala keindahannya, ternyata juga bisa menjadi sebuah topeng yang menutup rasa letih. 

Banyak orang mengira burnout adalah akibat langsung dari deadline menumpuk, rapat tanpa henti, atau stakeholder yang sulit diajak kompromi. Semua itu memang bisa menjadi pemicu, tetapi sejatinya bukan itu akar terdalamnya. Burnout justru sering muncul ketika seorang pemimpin terlalu lama menolak untuk mengakui kelelahannya. Ketika setiap pagi mereka memasang wajah kuat, padahal di dalam hati ada perasaan: "kalau gue lemah, siapa lagi yang bisa diandalkan?" Perasaan inilah yang lama-kelamaan menggerogoti energi. Mereka mengorbankan kejujuran terhadap diri sendiri demi mempertahankan citra kuat di mata orang lain.

Saya percaya, pemimpin juga manusia. Mereka bukan robot, bukan superhero, dan bukan penopang dunia. Tetapi karena ekspektasi orang-orang di sekitarnya --- tim yang butuh arah, stakeholder yang tidak mau mengerti, atasan yang menuntut hasil, bahkan keluarga yang berharap mereka tetap hadir --- pemimpin sering kali merasa tidak punya ruang untuk sekadar jujur pada kelemahan mereka sendiri. Mereka lupa bahwa leadership yang sehat justru bukan tentang selalu terlihat tangguh, tetapi tentang tahu kapan harus berhenti, beristirahat, dan kembali dikuatkan.

Istirahat yang saya maksud bukan sekadar cuti panjang atau liburan mewah. Cuti mungkin menenangkan tubuh, tapi hati yang resah tidak akan menemukan damai hanya dengan tiket pesawat atau pantai indah. Rehat sejati adalah ketika seorang pemimpin berani datang kepada Tuhan, membuka tangan yang menggenggam terlalu erat, dan berkata: "Tuhan, ini terlalu berat kalau gue tanggung sendiri." Ada ketenangan yang berbeda ketika kita berani berserah. Masalah memang tidak langsung hilang, target tidak serta-merta menjadi mudah, tetapi hati kita diberi damai yang melampaui pengertian.

Sering kali kita juga terbiasa menjadikan doa sebagai opsi terakhir, setelah semua cara gagal dan akal sudah habis. Padahal, kalau doa dijadikan langkah pertama, kita akan melihat perspektif yang berbeda sejak awal. Masalah tetap ada, tetapi cara kita memandangnya sudah berubah. Doa bukan sekadar pelarian, melainkan momen di mana kita menukar beban yang berat dengan kekuatan yang baru. Dan itulah yang banyak dilupakan para pemimpin --- mereka berlari ke banyak arah, padahal yang paling dibutuhkan justru bersandar pada Dia yang memegang kendali.

Lebih jauh lagi, saya percaya bahwa kejujuran seorang pemimpin tentang kelemahannya bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru tanda kedewasaan. Saat seorang leader berani berkata kepada timnya, "Saya juga manusia, saya juga bisa lelah," itu bukan meruntuhkan wibawa. Sebaliknya, itu menumbuhkan rasa hormat, karena tim melihat pemimpinnya bukan sebagai figur yang tak tersentuh, tetapi sebagai manusia nyata yang berjalan bersama mereka. Tim yang sehat bukanlah tim yang dipimpin oleh "robot sempurna," melainkan oleh manusia yang jujur, tulus, dan mampu menunjukkan bahwa kekuatan sejati justru lahir dari kerendahan hati.

Leadership yang sehat pada akhirnya bukan tentang seberapa lama kita bisa berdiri tegak tanpa henti, tetapi seberapa berani kita berhenti sejenak untuk kembali menguat. Tuhan tidak pernah meminta kita untuk memikul seluruh dunia. Dia hanya meminta kita percaya kepada-Nya, karena Dialah yang sudah lebih dulu memikul semuanya di kayu salib. Dan ketika seorang pemimpin berani menyandarkan diri pada kebenaran ini, mereka akan menemukan bahwa memimpin bukan lagi tentang menjadi sosok tak tergoyahkan, tetapi tentang menjadi pribadi yang setia, apa adanya, dan penuh kepercayaan.

Maka, kalau kamu adalah seorang leader yang hari ini sedang lelah, jangan menunggu sampai tubuhmu tumbang dan jiwamu retak. Jangan merasa bersalah karena butuh jeda, dan jangan malu mengakui bahwa kamu rapuh. Karena kebenarannya, bahkan pemimpin pun berhak untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan diingatkan bahwa kamu tidak sendirian. Leadership itu berat, ya. Tapi kamu tidak harus selalu kuat sendiri. Ada Tuhan yang siap menopangmu, ada orang-orang yang siap berjalan bersamamu, dan ada ruang untuk jujur pada dirimu sendiri.

Dan mungkin pertanyaan reflektif yang perlu kita renungkan bersama adalah ini: apakah selama ini kita sedang memimpin dengan mengandalkan kekuatan kita sendiri, ataukah kita sudah belajar bersandar kepada Dia yang memang sanggup menopang segalanya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun