Raka duduk di bangku kayu, memandangi rel yang mulai bergetar. Senja menjingga menyelimuti Stasiun Gambir, menciptakan bayangan panjang di lantai peron. Dia menatap tiket di tangannya, kereta tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam sepuluh menit.
Namun pikirannya kacau. Perjalanan ini bukan sekadar pulang kampung, melainkan pelarian. Ia ingin menjauh dari luka yang belum sembuh, dari kota yang menyimpan kenangan bersama seseorang yang dulu ia kira akan selalu ada.
Di sisi lain peron, Aurel baru saja turun dari kereta. Wajahnya tampak lelah, tetapi ada ketegasan dalam langkahnya. Dia baru kembali dari Solo setelah seminggu menghindari kenyataan: bahwa hidupnya di Jakarta tak lagi sama. Pekerjaan yang ia cintai tak lagi membuatnya bahagia, dan seseorang yang ia harap bisa menemani malah memilih pergi.
Saat Aurel melangkah menuju pintu keluar, secarik kertas jatuh dari tangannya. Tiket kereta. Angin sore membawanya melayang hingga berhenti tepat di kaki seseorang---Raka.
Raka menunduk, mengambil tiket itu, dan saat ia berdiri, matanya bertemu dengan mata Aurel. Sejenak, waktu seperti melambat. Ada sesuatu yang familiar dalam tatapan itu, meski mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
"Tiket kamu," kata Raka, menyerahkannya.
Aurel tersenyum tipis. "Terima kasih."
Mereka hanya saling pandang selama beberapa detik, lalu kembali ke jalannya masing-masing. Tapi di hati mereka, ada rasa yang sulit dijelaskan---seperti benang takdir yang perlahan mulai terjalin.
Di detik terakhir sebelum kereta berangkat, Raka melihat ke arah Aurel yang sudah hampir keluar dari stasiun. Entah dorongan dari mana, dia berdiri dan berjalan ke arah yang berlawanan.
Bukan ke arah keretanya, tapi ke arah Aurel.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI