Dunia digital kita telah lama dikotori oleh keberadaan pendengung atau yang dikenal dengan istilah buzzer. Kata buzzer berasal dari kata buzz dalam Bahasa Inggris yang menurut Merriam-Webster berarti rumor atau gossip. Sementara itu dalam KBBI V, kata buzzer disepadankan dengan istilah pendengung yang artinya adalah orang yang meneybarkan rumor atau gosip terutama melalui sosial media (Detik.com).
Sederhananya, pendengung adalah sekelompok atau individu-individu yang disewa untuk menyebarkan propaganda dengan cara mempengaruhi algoritma di sosial media. Mereka adalah alat yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu seperti perusahaan, pemerintah ataupun pejabat publik yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi perspektif publik. Hingga saat ini, keberadaan mereka masih dianggap efektif khususnya berkaitan dengan isu politik.
Kemunculan pendengung seiring dengan pasar digital yang semakin kompetitif, dan memungkinkan kemunculan pendengung yang bertugas untuk menyebarkan konten berbayar dalam jumlah besar dan sekaligus terkoordinasi. Para pendengung biasanya bertugas dengan strategi iklan, testimoni pseudo-pemengaruh, dan disinformasi berbasis clickbait yang kemudian dipadukan dengan teknik amplifikasi algoritmik seperti penggunaan bot, tagar trending, serta endorsement dari akun pseudo-pemengaruh.
Keberadaan Pendengung di Agustus Kelabu dan Septemebr Hitam
Riuhnya para pendengung di dunia digital sangat terasa dalam dua minggu terakhir ketika aksi massa bergejolak hampir di seluruh wilayah Indonesia sejak 25 Agustus 2025. Gelombang unjuk rasa tidak saja riuh di jalan, namun juga riuh di ruang digital. Ragam perdebatan muncul, dan sebagaimana biasanya hadir pula akun-akun provokatif dari para pendengung yang menggiring opini publik, menciptakan distorsi yang memecah belah masyarakat.
Wujud dari pendengung ini tidak saja dalam wujud akun anonim, namun juga bisa berwujud artis atau pemengaruh sehingga keberadaanya sangat efektif. Selain itu, efektifitas pendengung juga didukung oleh masyarakat yang masih minim literasi.
Selama masa aksi demonstrasi berlangsung hingga masa tenang sampai tanggal 5 September, alih-alih fokus pada tuntutan yang diajukan ke pemerintah, masyarakat justru fokus pada isu-isu tidak substansial. Mereka ribut dengan warna merah muda yang dijadikan simbol perlawanan, atau bahkan menyerang para pemengaruh yang sedang ikut berjuang seperti Salsa Erwina, Fery Irwandi, Abigael Muria, Jerome Polin dan lain sebagainya.
Warna merah muda sebagai simbol keberanian melawan, diambil dari warna hijab salah satu aksi demonstran yang viral karena keberaniannya menghadapi polisi. Namun kemudian muncul narasi tandingan yang menyebut bahwa warna merah muda tidak layak dijadikan simbol perlawanan karena sosok ibu berhijab merah muda yang disebut Ibu Anna, adalah orang yang berbicara kasar dan memaki-maki presiden dengan kata-kata yang tidak layak. Anggapan tersebut berasal dari video yang ternyata merupakan editan Akal Imitasi (AI).
Bahkan, setelah editan video tersebut diketahui publik sebagai video AI, muncul kembali narasi lanjutan yang menyebutkan bahwa ibu berhijab merah muda merupakan seorang ODGJ (Orang Dengan Gangguan Kejiwaan) sehingga tak layak untuk dijadikan pahlawan dan simbol gerakan. Selain meributkan warna, muncul narasi-narasi lainnya seperti sebutan anak abah yang merujuk pada simpatisan Anis Baswedan. Sebelumnya, warga net juga diributkan dengan menyalahkan massa aksi yang membakar fasilitas umum serta penjarahan yang dilakukan di rumah anggota DPR dan Menteri sebelum kemudian diketahui bahwa kerusuhan tersebut didalangi oleh pihak tertentu.
Sebagian masyarakat yang cukup terdidik bisa memahami pola pendengung. Akun para pendengung biasanya tidak memiliki foto profil, jejak digitalnya sedikit atau tidak ada sama sekali, akun masih baru, komentarnya bernada kebencian, provokasi serta minim argumentasi. Dan selain itu, mereka gagap berbahasa asing. Maka sebagian warganet kemudian memilih untuk membuat konten dengan menggunakan bahasa asing.
Namun sayangnya, tidak banyak yang bisa memahami pola para pendengung sehingga banyak warga terpengaruh dan termakan jebakan. Dampaknya, masyarakat menjadi kian terpolarisasi dan sibuk memperdebatkan narasi yang tidak substansial, dan melupakan isu utama. Masyarakat yang terpolarisasi akan menjadi celah bagi solidaritas pergerakan, dan memungkinkan berakhir dengan kegagagalan atau gerakan yang rimpang.
Keberadaan para pendengung akan terus efektif digunakan sebagai alat propaganda politik yang memecah belah masyarakat karena akar masalahnya ada pada minimnya literasi masyarakat. Sebaliknya, untuk membuat pendengung politik tidak lagi efektif, masyarakat harus meningkatkan literasi termasuk didalamnya untuk lebih melek media dan politik, wilayah yang selalu menjadi lapangan empuk bagi para pendengung.
Rujukan:
Detik.com. 2021. Pendengung dan Pemengaruh, diakses pada 07/09/2025
Nandito, N., Udayana, F., Kemal, R. R. M., Fauzan, M. D., & Suryasuciramdhan, A. (2025). Propaganda Buzzer dalam Iklan Digital Kontemporer: Strategi Komunikasi, Persepsi, dan Dampaknya. Dialogika: Jurnal Penelitian Komunikasi dan Sosialisasi, 1(3), 94-113.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI