Setiap menjelang Lebaran, banyak orang bersiap untuk mudik ke kampung halamannya demi berkumpul dengan keluarga besar serta karib kerabat yang lama tak jumpa.
Tradisi ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri yang kadang meninggalkan cerita yang tak terlupakan, menggemaskan dan bahkan ada yang mengenaskan.
Tapi apapun pengalaman dari cerita mudik dari masing-masing orang, panggilan untuk mudik bagi mereka yang hidup di perantauan selalu saja datang dan mengajak untuk pulang.
Saking rindunya untuk pulang perjalanan paling sulit pun rela ditempuh. Tak heran jika banyak hal-hal yang unik yang terjadi saat mudik, seperti mudik dengan menumpang mobil bak terbuka, mudik naik motor dengan membawa anggota keluarga, mudik dengan bajaj hingga menumpang truk barang.
Bagi saya cerita mudik itu sudah menjadi cerita lalu, kini saya sudah bermukim di kampung sendiri, jadi mudiknya tiap hari bisa. Tetapi jika melihat berita dan cerita tentang mudik, perasaan ini seperti merasakan bagaimana pengalaman mudik dulu yang begitu sulitnya tapi sangat menyenangkan.
Pengalaman pertama cerita mudik, saya alami di pertengahan tahun 80-an. Waktu itu sebenarnya bukan mudik sih, ketika itu saya baru saja kuliah di kota Malang, mau pulang ke Kendari rasanya tanggung. Jadi kami dan teman-teman sepakat berlebaran di Jogja bersama teman-teman asal Kendari yang ada di Jogja.
Dari Malang kami ke Surabaya, waktu itu terminal di Surabaya masih di Wonokromo. Hari itu sepertinya puncak arus mudik, situasi di dalam terminal begitu padatnya sehingga untuk bergerak menuju bus begitu sulit.
Tak ada lagi beli tiket bus di terminal, penumpang langsung naik ke bus, siapa cepat dia dapat. Sudah lima jam mencari bus ke Jogja masih belum dapat juga, pas ketemu bus yang kata orang tujuan Jogja, spontan kami berlima waktu itu berebutan naik ke bus.
Alhamdulillah kami berlima lolos bisa naik walau sudah terpencar, di dalam bus sudah penuh sesak bahkan ada yang berdiri. Tetiba ketika bus sudah akan berjalan, ternyata bukan tujuan Jogja, alamak sudah terjebak di tengah bus yang penuh sesak dan sudah berjalan keluar terminal.
Panik, tentu saja panik. Seperti dikomando kami berlima sontak bergerak cepat menuju pintu, pokoknya sudah nggak peduli nabrak orang yang penting bisa secepatnya turun dari bus.