Kita melihat satire di panggung itu, lewat layar-layar yang terbuka: menakar orang lain dalam sejarah yang ingin ditulis sendiri.
Wajah-wajah lugu yang termarjinalkan, masih merasa heran dengan kekonyolan yang ditawarkan: surga untuknya dan neraka untuk orang-orang lain.
Tak ada jalan tengah dan juga kompromistis di situ, bagaimana masa lalu dipaksa berjalan ke sudut gelap, dan masa depan ada di sudut retorika.
Laksana memaksa si papa mencari bulir-bulir padi dari tumpukan jerami: Mereka telah melebihi kuasa Tuhannya.
Wajah-wajah penuh cemas itu, memaksa diri mengingatkan sejarah: sebuah revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, bau anyir darahnya masih tercium.
Ada ambisi yang ingin mengubah tatanan lama dari guyub, gotong-royong, tepo seliro: menjadi nafsi-nafsi terpimpin yang pernah menjadi racun dimasa lalu.
Di bawah tatapan orang-orang lapar yang telah membuang tombak, pedang, bambu runcing dan senjata: jangan tunggu singa putus asa mengumumkan migrasi berbahaya, dari kampung kumuh ke jalan-jalan yang tak terduga.
Ada orang-orang dari Sabang hingga Merauke berbenah ingin memisahkan dirinya sendiri: ambisi telah kehilangan akal, mereka sibuk mencari-cari mimpinya di situ.
Dan aku yang berdiri disini hanya bisa mencari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi: yang mengirim pesan tentang kamar-kamar kosong milik kita yang telah diisi orang lain.