Mohon tunggu...
Christine Gloriani
Christine Gloriani Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pembaca yang belajar menulis

Pembaca yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Eksperimen Cinta 4, Taruhan

31 Desember 2018   09:10 Diperbarui: 1 Januari 2019   07:23 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir saja terlena dengan pelukan Elang tapi suara berisik dari ruang sebelah membuat Elang melepaskan tangannya.

"Ikut aku." Elang menarik tanganku dan menuruni tangga dengan cepat.

"Pelan napa, Lang? Dari tadi naik turun tangga cepat-cepat. Ngos-ngosan nih," tawarku yang nggak digubris, Elang malah mempercepat langkahnya.

"Pakai." Elang menyodorkan helm.

'Tumben bawa helm dobel?" Aku meneliti helm imut yang berwarna baby pink.

"Tadi abis nganterin Winnie."

"Ooooo," kataku masih dengan nada curiga.

"Cepat naik!" bentak Elang.

Ups, lupa kalau Elang dalam mode sedih dan sensi. Segera saja membonceng Elang agar tidak dibentak lagi.

"Pegangan."

"Pegangan? Kamu nggak mau ngebuuuuuutttt ... kan?" Elang sudah tancap gas, tidak menunggu kata-kataku selesai. Aku mencengkeram tas Elang dengan ngeri.

"Lang, kalau mau mati jangan ngajak-ngajak dong." Elang membelok dengan cepat sampai aku memejamkan mata karena takut jatuh. Nggak pernah lihat Elang mengendarai motor dengan kecepatan gila-gilaan seperti saat ini.

Elang membelokkan motor di warung bakso. Aku turun dan segera mengikuti langkah cepat Elang. Buset, ketinggalan mulu. Ini anak ingat nggak kalau ke sini ngajak seseorang.

"Lang, mau cerita nggak?"

Elang mengembuskan napas dengan kasar. Aku menggenggam tangannya sambil berkata, "Sekuat-kuatnya orang pasti butuh orang lain untuk bersandar. Kamu bisa percaya sama aku."

"Kamu sudah tahu ceritanya kan?" Elang menerawang menatap penjual bakso yang sedang sibuk membuat pesanan. Warung bakso ini ramai sekali tapi kami masih dapat tempat kosong di pojokan.

"Tapi aku tidak tahu gimana perasaanmu yang sebenarnya. Selama ini kamu pintar sekali menutupinya dengan topeng sedingin es." Elang masih tidak mau menatapku. Aku menarik tangan dengan putus asa.

"Ayah sangat menyayangiku meski aku bukan anak kandungnya. Aku merasa tidak enak padanya. Pasti dia melihat wajah orang yang menghamili ibu saat melihatku, membuatku merasa terhina. Aku tidak habis pikir mengapa ibu tega mengkhianati ayah."

"Itu bukan salahmu. Ayahmu sangat menyayangimu, mungkin dia masih mencintai ibumu sampai sekarang dan kamu adalah satu-satunya orang yang bisa mengobati kerinduannya. Matamu hitam seperti ibumu. Ekspresi wajahmu saat berpikir sangat mirip dengan beliau. Kalau kamu tidak yakin dengan perkataanku, tanyakan langsung pada ayahmu. Berdamailah dengan masa lalu. Ini bukan salahmu."

Elang diam, tidak mau berbicara lagi dan malah sibuk dengan hpnya. Aku juga nggak mau kalah, dari pada dicuekin mending main  Hay Day saja. Permainan ini sangat mengasikkan hingga aku tidak sadar kalau baksonya sudah datang.

Iseng-iseng aku memutar tubuh hingga duduk membelakangi Elang. Aku mengatur kamera dan mulai memotret dengan latar belakang Elang. Aku tersenyum puas melihat hasil jepretanku. Wajah Elang tidak begitu jelas tapi aku yakin kalau foto ini terpampang di instagram pasti banyak yang mengenali.

"Kok belum dibagikan di Ig atau Fb?" Elang mendongak untuk menatapku dengan pandangan menantang.

"Iseng kok. Aku hapus deh." Pandangan Elang membuat nyaliku ciut.

"Lang, aku bisa hapus sendiri kok," protesku saat Elang mengambil paksa hp.

"Nih," kata Elang setelah selesai mengutak-atiknya.

Aku mengecek galeri tapi foto itu masih ada. Bahkan foto yang lain juga masih utuh. Sebentar kemudian suara notifikasi terdengar bersahut-sahutan. Aku menutup mulut karena terkejut saat membuka salah satu notifikasi itu.

Dinda : Omg itu Elang kan? Tambah ckep aja. Clbk nih

Jesi : Pasti hanya setingan saja

Hera : Sirik ya,  Jesi?

Rindu : Kapan jadian kok CLBK sih, Dinda?

Dinda : Cinta lama belum kelar, hahaha

Jesi : Kamu ngarep cintanya Elang ya, Elok? Siap-siap patah hati.

Hera : Iri tuh si Jesi

Fahmi : Wah, aku cemburu!

Rindu : Cemburu sama Elok? Km hombreng, Fahmi? hehehe

Fahmi : Hati-hati dengan jarimu, Rindu.

"Puas?" Foto itu benar-benar sudah bikin heboh. 

"Kamu yang mulai duluan."

"Kan udah mau dihapus," belaku.

"Btw, dulu kamu naksir aku ya?" goda Elang dengan memainkan alis.

"Kata siapa?" Aku pura-pura cuek.

"Komen Dinda tuh." Elang menunjukkan tulisan Dinda.

"Ih, geer." Aku menjulurkan lidah tepat saat Elang mengambil gambarku.

Suara notifikasi kembali terdengar. Jantungku berdebar lebih kencang saat membuka halaman facebook. Sekarang apa lagi.

Sebuah foto diriku yang sedang menjulurkan lidah, lengkap dengan keterangan yang berbunyi : Bikin gemes - bersama dengan Elok di akun fb Elang membuat dirinya menerima berbagai komentar dari banyak orang yang bahkan tidak dikenalnya.

Jesi : Jangan bilang kalau hp Elang dibajak Elok?

Fahmi : Aku juga gemes

Kilat : Dedek emeshnya Elang, ntar kalau sudah bosan dengan Elang tinggal hubungi aku 😍

Reno : cute, emg bikin gemes 😘

Rindu : Sumpah demi apa, kamu beneran kencan ma Elang????

Hera : Nunggu traktiran nih

Prih : Gemes pengen cium 😘

Kirana : Uh, masih cantikan aku kelez

Jesi : Jangan berani dekati Elang , Kirana

Kirana : Apa urusanmu? Cuma mantan ini

Aku menggelengkan kepala karena membaca komentar yang makin lama makin nggak jelas.

"Harusnya nggak kupajang di facebook. Banyak cowok keganjenan yang ikut gemes lihat kamu." Pipi Elang menggelembung lalu cemberut. 

"Ayo pulang." Elang menutupi layar hpku dan memaksaku berdiri untuk mengikutinya.

...

Keesokan harinya saat aku hendak menuju kantin untuk sarapan tiba-tiba lenganku dicekal. Tubuhku dipaksa berbalik menghadap pencekal itu.

"Ya, ampun Elang. Bikin takut saja," ujarku sambil mengelus dada.

"Nih, roti selai. Dimakan." Elang mengeluarkan setangkup roti dari dalam tempat bekalnya. Sebuah senyuman tersungging dengan manis saat kuterima roti itu.

"Tumben bawa bekal?" Aku memandang dengan wajah curiga. Aku menggigit roti itu dengan ragu-ragu.

"Udah dimakan saja. Enak kok, atau mau kusuapi?" 

Tawaran Elang membuatku tersedak. Dengan sigap Elang memberikan minum dan menepuk punggung. "Ke kelas duluan ya."

Beberapa saat kemudian aku menyusul Elang untuk masuk kelas teori. Hampir saja aku duduk di sebelah Elang tapi melihat ekspresi datarnya membuatku pindah tempat. Lebih baik aku duduk di belakang dengan Rindu dan Hera.

Sepanjang hari Elang sama sekali tidak mengajakku berbicara, memandang wajahku pun tidak. Dia dalam mode bunglon. Tadi pagi lumer seperti es krim yang mencair, sekarang seperti es balok.

Karena perubahan sikap Elang, aku jadi meminta mas Bagus untuk menjemputku. Lagian aku nggak mungkin mengharapkan Elang untuk mengantar pulang setiap hari. Hera juga sudah mulai pulang sendiri karena janjian dengan pacarnya.

Selesai praktek aku buru-buru pulang. Kasihan kalau mas Bagus menunggu terlalu lama. Kakiku hampir menyentuh anak tangga terakhir saat tubuhku didorong hingga membentur dinding.

"Aku mau bicara." Jesi memegangi tanganku dengan erat dan menyeretku menuju taman belakang.

"Lepasin. Aku harus segera pulang."

"Aku mau ngajak kamu taruhan. Kalau dalam seminggu, Elang balikan lagi sama aku. Kamu harus jauh-jauh dari Elang." Jesi menaikkan dagu sambil bersedekap.

"Gimana harus jauh-jauh. Kami sekarang kan partner." 

"Kamu tahu maksudku. Jangan pura-pura bodoh!" bentak Jesi sambil menunjuk mukaku dengan telunjuknya yang gendut.

"Urusan hati bukan untuk menjadi bahan taruhan." 

"Huh, aku bahkan berani bertaruh kalau kedekatan kalian selama ini hanya untuk membuatku cemburu. Elang sengaja dekati kamu agar aku cemburu dan mau jadian lagi dengannya."

"Terserah apa katamu. Aku tidak peduli." Tanganku mengepal erat.

"Kamu bodoh atau pura-pura bodoh? Sampai-sampai tidak sadar kalau dipermainkan?" ejek Jesi.

"Terserahlah. Aku pulang." Aku berlari kencang meninggalkannya.

Mas Bagus yang duduk di bangku depan kampus mematikan hp saat melihatku berlari mendekatinya. "Kok lama."

"Ayo pulang, Mas." Suaraku bergetar menahan tangis.

Aku memakai helm dan membonceng. Kupeluk erat mas Bagus. Rasanya sesak mengetahui kalau aku hanya di manfaatkan saja.

"Menangislah kalau kamu memang ingin menangis. Kembali tersenyum saat sudah sampai rumah. Jangan sampai mereka tahu kalau kamu bersedih. Kamu tidak ingin membuat mereka bersedih juga kan?"

Perkataan mas Bagus malah membuat tangisku berhenti. Aku tidak ingin membuat orang lain kuatir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun