"Ya sudah kalau begitu. Elang, kamu ambil darah Elok sebanyak 6 cc," perintah bu Weni.
Aku ngeri melihat serigai Elang. Ya ampun, 6 cc darah. Spontan kututup lengan kanan dengan memakai tangan kiri.Â
"Ini tidak sakit kok." Elang memainkan alis sambil mengacungkan spuit 6 cc.
Kutarik tangan saat Elang menggegam mantap. Elang melotot, dengan pandangan mengancam kembali menarik lenganku agar posisinya pas. "Tenang aja."
Kata-kata dari Elang tidak membuatku makin santai malah makin tegang.
Aku menutup mata dengan pasrah. Biasanya tidak setakut ini tapi hanya kuatir kalau Elang sengaja membalas dendam dengan menusukku dua, tiga, atau bahkan empat kali.
"Nggak sakit kan?" Elang menarik spuit dari lenganku.
Aku menggeleng lemah karena pikiran burukku tidak terbukti. Kuraih vial-vial yang sudah terisi darah, menutup dan mencampurnya dengan anti koagulan lalu membagikan ke pasangan-pasangan lain.
Suasana berubah hening, semua sibuk melakukan pemeriksaan. Elang bahkan sudah mulai melihat mikroskop sedangkan aku masih berkutat dengan pengenceran.
Elang mengangkat tangan tanda dia sudah menemukan sel eosinofil. Sebentar kemudian, dia sudah mengumpulkan buku prakteknya.
"Cepat seperti biasa." Bu Weni memuji Elang.