Saya memang hanya ingin bertemu Bapak, itu saja, titik. Dan itu karena pada hari pertama kelahiran, saya telah terlanjur menghirup hawa rindu yang kemudian memenuhi seluruh rongga dada ini. Rindu Bapak.
Dan seperti yang sering saya dengar dari Kakak-Kakak, pertengkaran Bapak dan Ibu saat saya masih di dalam kandungan itu, sebenarnya bukanlah pertengkaran yang pertama atau yang kedua kalinya, yang berujung Bapak pergi dari rumah, yang selanjutnya memang hanya menunggu waktu untuk kemudian Bapak pulang.Â
Namun, kali ini adalah yang terlama Bapak tidak pulang ke rumah dan pasti Ibu mencemaskan Bapak yang entah ada di mana.
Akhirnya saya menyadari, rasa sakit pasti menjalar di hati Ibu tiap kali saya menanyakan kapan Bapak pulang. Dan dengan mata berkaca-kaca, saya pun kemudian menahan diri untuk tidak bertanya lagi tentang Bapak.
Tetapi, tiba-tiba saja keanehan terjadi pada saya. Ada ketenangan dan kedamaian seperti mengalir deras dalam aliran darah saya setelah menyadari itu semua. Inikah yang dinamakan cahaya terang telah menaungi jiwa saya seperti yang dialami Bapak? Keikhlasan menerima kenyataan hidup?
Saya memang benar-benar tidak tahu pasti apa alasan Bapak dan Ibu bertengkar sampai ada perpisahan di antara mereka. Tetapi, saya tahu persis bahwa keduanya adalah sosok pemaaf dan itu adalah harta karun yang telah mereka wariskan ke dalam aliran darah saya. Memang sudah sepatut dan sepantasnya saya ikhlas berada dalam ruang penantian, seperti Ibu yang juga setia menanti.
Dan keajaiban itu ternyata memang datang dengan sendirinya. Di jalanan sepi hari itu, di dalam gendongan Ibu yang hangat, akhirnya saya benar-benar bertemu dengan sosok Bapak, dan ia sungguh-sungguh berdiri tepat di hadapan saya.
Jantung saya pun berdegup kencang saat hendak menghambur ke dalam pelukannya, meski sempat tertahan untuk beberapa saat karena Ibu mengatakan dengan suara bergetar, bahwa sosok itu bukanlah Bapak.
Sayangnya kali ini saya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ibu, dan langsung turun dari gendongannya, berlari menghambur ke pelukannya, "Bapak...!"
Saya memang tak harus melihat seberapa keriting rambutnya dan seberapa tajam sorot matanya. Saya telah mengenalnya jauh sebelum perjumpaan ini, yakni pada saat-saat saya berada di dalam lautan imajinasi saya, di sebuah ruangan yang penuh dengan kerinduan.
Sakit hati Ibu pun tampaknya berangsur-angsur sembuh melihat kebahagiaan kami. Akhirnya Ibu tersenyum seraya berkata, "Ya, dia bapakmu, Le...!"
Saya adalah potret dari bapak saya. Kalau ada yang bilang anak seperti bapaknya, mungkin saya adalah salah satu yang mewakilinya. Bapak berambut keriting dan sorot mata tajam seperti matahari yang baru saja bersinar di langit timur. Kata Ibu, saya benar-benar persis seperti Bapak. Lihatlah, rambut maupun sorot dari mata Bapak memang persis seperti saya. Dan bapak saya bukanlah Pak Paijan.