Mohon tunggu...
Christian Armana Putra
Christian Armana Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa biasa

Mahasiswa biasa

Selanjutnya

Tutup

Financial

Tax Avoidance dan PPh Minimum: Banyak Perusahaan Ngaku Rugi

22 Oktober 2021   23:51 Diperbarui: 23 Oktober 2021   00:00 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang taat pajak. Karena sejatinya, membayar pajak adalah kewajiban kita sebagai warga negara. Kita sebagai masyarakat tentunya memiliki hak, yaitu mendapat fasilitas-fasilitas yang melindungi dan mendukung kita untuk menjalankan kehidupan. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana cara negara membiayai fasilitas-fasilitas tersebut? Tentunya negara memiliki penerimaan. Salah satu jenis penerimaan tersebut adalah pajak. Pajak merupakan komponen penerimaan negara yang memiliki kontribusi yang paling besar dibandingkan dengan penerimaan negara yang lain.

Dalam praktiknya, tentu saja banyak pihak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak. Menurut wawancara penulis terhadap beberapa pengusaha, mereka enggan membayar pajak karena mereka tidak merasa mendapatkan manfaat apa-apa, namun harus mengeluarkan uang setiap masa pajak (baik bulan atau tahun) dengan nominal yang tidak bisa dikatakan sedikit. Namun, hal itu berhubungan dengan salah satu sifat pajak, yaitu tidak mendapatkan dampak secara langsung. 

Contohnya saja, dengan penghasilan Rp. 10.000.000,- perbulan, jika dikalkulasikan sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan pasal 17, maka setahun kita harus membayar kurang lebih sekitar Rp. 4.900.000,-. Tentu saja nominal tersebut tidaklah kecil jika kita tidak menyisihkan penghasilan kita setiap bulan untuk membayar pajak, ataupun tidak mengangsur Pajak Penghasilan kita atau yang biasa dikenal dengan PPh Pasal 25. 

Masih banyak masyarakat yang mengira bahwa pajak bukanlah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, sehingga masyarakat tidak menganggarkan beban pajak dalam penghasilan mereka. Karena penulis melihat contoh nyata seperti ini, maka penulis memahami mengapa banyak terjadi praktik penghindaran pajak atau yang biasa dikenal dengan istilah Tax Avoidance.

Tax Avoidance tidak selalu dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Karena ada juga upaya penghindaran pajak namun tetap tidak melanggar hukum, yaitu dinamakan Acceptable Tax Avoidance. Acceptable Tax Avoidance menghindari pajak dengan cara memanfaatkan interpretasi hukum pajak untuk mengurangi pajak yang seharusnya terutang. 

Contoh Acceptable Tax Avoidance yang biasa terjadi adalah pemberian natura oleh perusahaan kepada pegawai. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan, natura (kecuali makanan dan minuman) tidak boleh dimasukkan kedalam biaya fiskal. Jadi jika ketika ada natura dalam laporan keuangan komersial, maka kita harus mengeluarkannya dari daftar biaya dengan cara mengoreksi positif. Hal ini menyebabkan pajak yang terutang bertambah besar. 

Namun, perusahaan mencari cara bagaimana agar perusahaan dapat memberikan fasilitas kepada pegawai, namun tidak menambah beban pajak. Solusinya adalah dengan memberi natura tersebut dalam bentuk tunjangan atau uang, agar dapat dibiayakan secara fiskal. Praktik tersebut tentu saja legal di mata hukum.

Namun terdapat juga praktik penghindaran pajak yang ilegal atau melanggar hukum yang biasa disebut dengan Unacceptable Tax Avoidance. Unacceptable Tax Avoidance biasanya dilakukan dengan membuat transaksi transaksi palsu agar bisa terhindar dari kewajiban pajak. Contohnya sebuah perusahaan yang membuat transaksi palsu, misalnya membuat biaya-biaya yang dapat dikurangkan menjadi lebih besar daripada yang sebetulnya terjadi agar beban semakin besar dan kewajiban pajak menjadi lebih kecil.

Tax Avoidance tidak hanya terjadi dalam transaksi dalam negeri saja, tentu saja praktik tersebut terjadi dalam transaksi lintas batas. Hal ini dibahas dalam Pajak Internasional. Orang awam kebanyakan mengira bahwa Pajak Internasional adalah ketentuan perpajakan yang diatur secara Internasional ataupun global. Sebenarnya, Pajak Internasional adalah ketentuan pajak domestik yang mencakup transaksi lintas batas.

Praktik Tax Avoidance oleh perusahaan multinasional yang melakukan transaksi lintas batas yag paling umum biasanya dilakukan dengan cara transfer pricing, treaty shopping, controlled foreign corporation (CFC), dan thin capitalization.

  1. Praktik Transfer Pricing pada umumnya dilakukan dengan memperbesar harga beli serta memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup (yang memiliki hubungan istimewa) dan labanya ditransfer ke grup yang kedudukannya berada di negara dengan ketentuan pajak yang lebih rendah.
  2. Treaty Shopping pada umumnya dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas tax treaty sebuah negara yang berlaku oleh perusahaan yang tidak memiliki hak atas fasilitas tax treaty tersebut. Treaty shopping masuk ke kategori penyalahgunaan fasilitas tax treaty, karena memanfaatkan beberapa pasal dalam P3B yang tidak sesuai dengan tujuan untuk mendapatkan Tax treaty.
  3. Controlled foreign corporation (CFC) pada umumnya dilakukan dengan cara yaitu meunda pengakuan penghasilan modal yang bersumber dari negara yang sebagian besar di tax heaven country agar dapat dikenakan pajak di dalam negeri.
  4. Thin Capitalization pada umumnya dilakukan dengan cara memberi pinjaman kepada anak perusahaan yang berada di negara lain dari perusahaan induk yang di mana perusahaan induk tersebut lebih memilih memberi dana dengan bentuk pinjaman daripada setoran modal kepada anak perusahaannya. Hal ini tentu saja memiliki alasan yang logis, karena biaya yang terdapat kaitannya dengan modal (dividen) tidak dapat dibiayakan secara fiskal sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini berbanding terbalik jika dalam bentuk pinjaman yang dapat dibiayakan secara fiskal sehingga dapat dibiayakan dan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Dilansir dari cnbcindonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan saat ini tarif pajak penghasilan (PPh) Badan berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2020 akan terus turun, dari 25% menjadi 22% dan akan berubah menjadi 20% di tahun depan. Kendati demikian, dalam praktiknya, kata Sri Mulyani saat ini wajib pajak badan yang melaporkan rugi terus meningkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun