Maka, malas membaca bukan sekadar masalah pribadi. Ini adalah masalah generasi, masalah bangsa. Bila tak diatasi, kita bukan hanya kehilangan literasi, melainkan kehilangan masa depan.
Membaca sebagai Jalan ke DalamÂ
Kita hidup dalam zaman paradoks. Buku bisa diakses tak pernah semudah sekarang. Jutaan bacaan ada di genggaman.Â
Tapi, kita lebih sering memilih yang pendek, yang instan, yang viral. Kita cerewet di media sosial, tetapi sering gagap bila diminta menyusun argumen yang solid.
Pertanyaannya, apakah rakyat akan terus cerewet tanpa pengetahuan, dan pejabat sibuk bicara tanpa kebiasaan membaca? Bila ya, demokrasi kita akan terus berjalan di atas kebisingan.Â
Kebijakan publik akan jadi eksperimen yang berulang. Pendidikan akan melahirkan generasi yang pandai berswafoto, tapi kaku saat membaca laporan ilmiah.
Membaca adalah jalan ke dalam. Ke kedalaman berpikir, ke kesadaran bahwa hidup bersama membutuhkan fondasi pengetahuan.Â
Rakyat yang membaca bisa menuntut pejabat dengan cerdas. Pejabat yang membaca bisa memimpin dengan bijak. Bila keduanya membaca, demokrasi mungkin tidak hanya cerewet, tapi juga cerdas.
Maka, kita kembali ke pertanyaan awal. Apa jadinya ketika rakyat dan pejabat sama-sama malas membaca? Jawabannya sederhana sekaligus mengerikan: kita akan hidup di negara yang bising suaranya, tapi kosong hati dan pikirannya.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI