Hari ini, kita hidup dalam dunia yang terang benderang. Layar menyala 24 jam. Informasi membanjiri pikiran. Algoritma tahu apa yang kita inginkan bahkan sebelum kita tahu. Tapi, di tengah semua cahaya buatan itu, kita gelap. Gelap terhadap hakikat hidup. Gelap terhadap diri sendiri. Gelap terhadap keheningan yang dulu menjadi rumah.
Barat telah menggantikan mitos religius dengan mitos kemajuan. Namun, apakah kita benar-benar lebih bebas, atau hanya berpindah dari satu penjara ke penjara lain, dari dogma teologi ke dogma ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)?
Dalam konteks ini, pencerahan tidak lagi berarti bebas dari ilusi, melainkan tetap terperangkap dalam bentuk baru - lebih canggih, lebih cepat, lebih mengagumkan, tapi tetap saja ilusi.
Penutup: Melampaui Pencerahan Palsu
Mungkin dunia tidak sedang tercerahkan, tapi sedang terbakar oleh cahaya yang salah. Kita perlu kembali mengingat bahwa terang sejati bukan yang bersinar dari layar, buku, atau sistem; melainkan yang lahir ketika ilusi tentang aku luluh, dan kesadaran sejati muncul seperti fajar yang sungguh hadir.
Siddharta Gautama menemukan pencerahan ketika ia berhenti mengejar. Barat kehilangan pencerahan karena ia tidak bisa berhenti berlari.
Kini, tugas kita bukanlah mengejar cahaya baru, tapi melebur sumber-sumber silau palsu yang menutupi cahaya batin. Kita tidak memerlukan revolusi akal, melainkan revolusi sunyi. Kita tidak butuh lebih banyak data, tapi lebih banyak jeda. Bisa duduk dalam hening, menyadari napas sendiri, melihat ilusi, dan melepaskannya.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI