Tapi mari kita bertanya: Pikiran siapa? Ada yang bagaimana? Dan kepada apa eksistensi itu ditautkan?
Klaim itu bukan pencerahan, tapi malah pembatasan. Ketika eksistensi hanya diukur dari aktivitas berpikir, maka segala yang hening, yang batiniah, yang tidak rasional - otomatis didepak dari medan makna. Spiritualitas direduksi menjadi patologi. Meditasi dianggap sebagai pelarian. Mistisisme ditertawakan. Dan yang tersisa hanyalah dunia sebagai objek, serta manusia sebagai subjek yang pongah.
Ilmu pengetahuan pun berkembang pesat. Namun, sebagaimana seorang anak yang sibuk membongkar mainan tanpa tahu cara merakitnya kembali, manusia modern mengobrak-abrik alam semesta dalam nama "pengetahuan", tanpa menyadari bahwa ia sendiri tak pernah benar-benar mengenal dirinya.
Struktur Perangkap: Epistemologi Barat sebagai Labirin Tanpa Pintu Keluar
Pencerahan Barat menggiring manusia ke dalam labirin epistemologis. Rasio menjadi penentu tunggal validitas. Hanya yang bisa diukur, dihitung, dan dibuktikan dianggap "nyata". Akibatnya:
- Realitas transenden dikubur hidup-hidup.
- Kebijaksanaan non-linear diabaikan.
- Kesadaran sebagai pusat pengalaman dipinggirkan.
Inilah involusi kognitif: Pikiran berputar-putar di dalam dirinya sendiri, menghasilkan ilusi kemajuan. Peradaban menjadi seperti manusia yang terus-menerus berbicara pada dirinya sendiri dalam gema ruang tertutup, lalu mengira dirinya telah menemukan kebenaran karena suaranya makin keras.
Sains menciptakan teknologi, lalu teknologi menciptakan distraksi, dan distraksi menciptakan keterputusan dari batin. Dan inilah ironi besar itu: Abad Pencerahan menciptakan manusia yang mungkin pintar, namun kehilangan arah secara spiritual. Tetap tinggal dalam ketidaktahuan, termasuk tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.
Pencerahan Tanpa Cahaya: Dunia yang Terang, tapi Tidak Tercerahkan