Program Literasi yang Membumi
Ketiga, saya membayangkan perpustakaan menjadi jembatan literasi yang membumi. Artinya, tidak hanya berhenti di rak buku, tapi juga turun ke masyarakat. Misalnya, program "Perpustakaan Keliling Digital" dengan motor listrik yang membawa tablet berisi e-book ke desa-desa. Atau program "Dongeng di Sawah" di mana pustakawan mendongeng untuk anak-anak petani saat orang tua mereka sedang bekerja.
Di beberapa daerah, inovasi semacam ini sudah berjalan. Misalnya, Perpustakaan Umum Kota Surabaya rutin menghadirkan bookfair, lomba literasi, dan ruang interaktif bagi anak-anak. Sementara itu, Balai Literasi Yogyakarta dikenal sebagai komunitas yang menghidupkan perpustakaan dengan diskusi budaya, pemutaran film, hingga kelas menulis kreatif. Bahkan di pelosok, ada Pustaka Bergerak Indonesia yang digerakkan oleh pegiat literasi seperti Ridwan Alimuddin di Sulawesi atau Bapak Saelan dengan motor pustakanya di daerah pelosok Jawa. Semua itu menunjukkan: perpustakaan bisa benar-benar hadir di tengah masyarakat, bukan sekadar menunggu didatangi.
Ada juga konsep Human Library yang sudah dicoba di Jakarta: "buku" yang dipinjam adalah manusia dengan kisah hidup yang bisa didengar langsung. Bayangkan jika di Indonesia ini diperluas, kita bisa ngobrol langsung dengan nelayan, penjahit, atau seniman jalanan yang kisahnya jauh lebih kaya daripada sekadar teks.
Perpustakaan Sebagai Ruang Digital dan Fisik
Kita tentu tidak bisa mengabaikan fakta bahwa generasi sekarang hidup di dunia digital. Karena itu, perpustakaan ideal menurut saya harus menggabungkan ruang fisik dan ruang digital. Buku cetak tetap penting, tapi akses e-book, jurnal online, bahkan podcast juga disediakan.
Lebih jauh, perpustakaan bisa menjadi ruang belajar literasi digital: bagaimana memverifikasi informasi, melawan hoaks, atau menggunakan AI secara bijak untuk belajar. Dengan begitu, perpustakaan tidak tertinggal dari zaman, malah jadi garda depan melawan banjir informasi palsu.
Mengembalikan Rasa Milik
Namun ada satu hal yang paling krusial: membangun rasa memiliki masyarakat terhadap perpustakaan. Selama ini, perpustakaan kadang terasa terlalu formal, seolah hanya milik pemerintah atau akademisi. Padahal, ketika masyarakat merasa "ini perpustakaanku," maka energi kolektif akan lahir.
Cara sederhana bisa dengan melibatkan warga dalam pengelolaan. Misalnya, komunitas lokal diberi ruang untuk memamerkan karya, menampilkan kesenian, atau bahkan mengkurasi sudut tertentu sesuai minat mereka. Jadi, perpustakaan bukan hanya "tempat kita datang," tapi "tempat kita bersama-sama rawat."
Penutup