Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Rak Buku ke Ruang Hidup Ide

19 September 2025   09:26 Diperbarui: 19 September 2025   09:26 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menghidupi Perpustakaan | www.literasi.org

Pernahkah Anda masuk ke sebuah perpustakaan, lalu merasa suasananya begitu hening, formal, dan---maaf---agak membosankan? Rak-rak buku berdiri tegak, berjajar rapi, seperti pasukan yang menunggu komando. Buku-buku itu seolah berkata, "Ayo baca aku!" tapi pembacanya entah datang entah tidak. Fenomena ini cukup ironis, karena di satu sisi kita selalu menggaungkan pentingnya literasi, tapi di sisi lain perpustakaan kadang masih dipersepsi sebagai ruang pasif: tempat buku menunggu dibaca, bukan tempat ide bergerak.

Nah, bayangkan kalau kita diberi kesempatan mendesain ulang konsep perpustakaan. Seperti apa wajahnya? Apakah hanya menambah koleksi buku terbaru, atau justru menghadirkan sesuatu yang lebih hidup, lebih interaktif, bahkan lebih menyenangkan?

Dari Tempat Baca ke Pusat Aktivitas Kreatif

Dalam literatur modern tentang literasi, ada istilah library as a third place. Maksudnya, perpustakaan tidak sekadar ruang baca (tempat pertama: rumah, tempat kedua: sekolah/kerja), tapi ruang ketiga: tempat orang merasa betah, ingin kembali, dan punya pengalaman bermakna.

Pertama, saya membayangkan perpustakaan yang menyediakan kelas-kelas kreatif. Misalnya, kelas menulis cerpen, workshop fotografi, pelatihan membuat konten edukatif, atau bahkan kelas memasak berbasis literatur kuliner Nusantara. Buku tidak lagi berhenti pada halaman, tapi diterjemahkan menjadi kegiatan nyata. Bayangkan ada buku resep kuno Jawa yang dibaca bersama, lalu pengunjung diajak praktik memasaknya di dapur komunitas. Seru, bukan?

Kegiatan semacam ini akan membuat orang merasa perpustakaan bukan hanya tempat membaca, tapi tempat belajar dengan cara yang menyenangkan. Bahkan, generasi muda yang selama ini mungkin lebih akrab dengan TikTok daripada buku, bisa merasa: "Oh, ternyata baca buku itu bisa langsung dipraktikkan, ya!"

Ruang Berjejaring: Dari Sunyi ke Interaksi

Kedua, saya ingin melihat perpustakaan menjadi ruang berjejaring. Kita tahu, banyak ide besar lahir bukan hanya dari membaca, tapi dari obrolan santai. Mengingatkan kita pada kedai kopi era pencerahan di Eropa, tempat filsuf, ilmuwan, dan seniman bertukar pikiran. Mengapa perpustakaan tidak bisa menjadi versi modernnya?

Perpustakaan bisa menyediakan ruang diskusi yang nyaman, dengan meja-meja kecil, kursi empuk, dan kopi atau teh gratis. Tentu, bukan berarti jadi warung kopi penuh asap dan gaduh. Konsepnya tetap menjaga ketenangan, tapi memberi ruang agar pengunjung bisa berbicara, berdiskusi, dan berkolaborasi. Misalnya, ada klub buku mingguan, forum diskusi film, atau community meet-up bagi penulis muda.

Dengan cara ini, perpustakaan tidak hanya menjadi gudang pengetahuan, tapi juga wadah pertukaran gagasan. Seperti kata sosiolog Ray Oldenburg, ruang sosial yang sehat adalah ruang yang menumbuhkan interaksi egaliter. Perpustakaan punya peluang emas untuk mengambil peran ini.

Program Literasi yang Membumi

Ketiga, saya membayangkan perpustakaan menjadi jembatan literasi yang membumi. Artinya, tidak hanya berhenti di rak buku, tapi juga turun ke masyarakat. Misalnya, program "Perpustakaan Keliling Digital" dengan motor listrik yang membawa tablet berisi e-book ke desa-desa. Atau program "Dongeng di Sawah" di mana pustakawan mendongeng untuk anak-anak petani saat orang tua mereka sedang bekerja.

Di beberapa daerah, inovasi semacam ini sudah berjalan. Misalnya, Perpustakaan Umum Kota Surabaya rutin menghadirkan bookfair, lomba literasi, dan ruang interaktif bagi anak-anak. Sementara itu, Balai Literasi Yogyakarta dikenal sebagai komunitas yang menghidupkan perpustakaan dengan diskusi budaya, pemutaran film, hingga kelas menulis kreatif. Bahkan di pelosok, ada Pustaka Bergerak Indonesia yang digerakkan oleh pegiat literasi seperti Ridwan Alimuddin di Sulawesi atau Bapak Saelan dengan motor pustakanya di daerah pelosok Jawa. Semua itu menunjukkan: perpustakaan bisa benar-benar hadir di tengah masyarakat, bukan sekadar menunggu didatangi.

Ada juga konsep Human Library yang sudah dicoba di Jakarta: "buku" yang dipinjam adalah manusia dengan kisah hidup yang bisa didengar langsung. Bayangkan jika di Indonesia ini diperluas, kita bisa ngobrol langsung dengan nelayan, penjahit, atau seniman jalanan yang kisahnya jauh lebih kaya daripada sekadar teks.

Perpustakaan Sebagai Ruang Digital dan Fisik

Kita tentu tidak bisa mengabaikan fakta bahwa generasi sekarang hidup di dunia digital. Karena itu, perpustakaan ideal menurut saya harus menggabungkan ruang fisik dan ruang digital. Buku cetak tetap penting, tapi akses e-book, jurnal online, bahkan podcast juga disediakan.

Lebih jauh, perpustakaan bisa menjadi ruang belajar literasi digital: bagaimana memverifikasi informasi, melawan hoaks, atau menggunakan AI secara bijak untuk belajar. Dengan begitu, perpustakaan tidak tertinggal dari zaman, malah jadi garda depan melawan banjir informasi palsu.

Mengembalikan Rasa Milik

Namun ada satu hal yang paling krusial: membangun rasa memiliki masyarakat terhadap perpustakaan. Selama ini, perpustakaan kadang terasa terlalu formal, seolah hanya milik pemerintah atau akademisi. Padahal, ketika masyarakat merasa "ini perpustakaanku," maka energi kolektif akan lahir.

Cara sederhana bisa dengan melibatkan warga dalam pengelolaan. Misalnya, komunitas lokal diberi ruang untuk memamerkan karya, menampilkan kesenian, atau bahkan mengkurasi sudut tertentu sesuai minat mereka. Jadi, perpustakaan bukan hanya "tempat kita datang," tapi "tempat kita bersama-sama rawat."

Penutup

Pada akhirnya, saya membayangkan perpustakaan masa depan bukan lagi sekadar rak buku berjajar rapi, menunggu pembacanya datang entah kapan. Melainkan ruang hidup: tempat ide bersemi, kreativitas bertumbuh, dan interaksi manusia terjalin.

Kelas kreatif akan membuat buku lebih "hidup." Ruang jejaring akan membuat ide lebih mengalir. Program literasi membumi akan mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat. Integrasi digital akan membuatnya relevan dengan zaman. Dan rasa memiliki akan membuat perpustakaan tidak pernah sepi.

Jadi, Kompasianer, kalau suatu hari kita ditanya: "Apa kegiatan favoritmu di perpustakaan?" Saya ingin bisa menjawab, "Bukan cuma membaca, tapi juga belajar menulis, berdiskusi, ngopi bareng komunitas, bahkan memasak resep kuno dari buku lawas." Karena di perpustakaan yang ideal, literasi bukan lagi sekadar aktivitas sunyi, melainkan pengalaman kolektif yang menyenangkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun