Setiap datangnya bulan Dzulhijjah, suasana kampung mulai berubah. Kambing-kambing mendadak jadi selebriti lokal, sapi disisir rapi layaknya mau kawin, dan undangan pun berdatangan seperti hujan di awal musim penghujan---tak bisa dihindari, tak bisa ditolak. Idul Adha, atau di Jawa lebih dikenal dengan istilah ulan besar, tak hanya jadi momen religius untuk berkurban, tapi juga musim "panen" hajat: nikahan, sunatan, selametan pindah rumah, tasyakuran kerja baru, bahkan kadang sekadar perayaan "munggah" (naik pangkat atau naik status).
Nah, dari sinilah kisah tentang amplop buwuhan bermula. Sebuah tradisi lama yang terus hidup di tengah masyarakat Jawa, dan mungkin juga banyak daerah lain di Indonesia: ketika kita datang ke hajatan seseorang, entah nikahan atau sunatan, kita menyelipkan amplop berisi sejumlah uang sebagai bentuk sumbangan. Tapi lebih dari sekadar memberi, amplop buwuhan ini juga menyimpan catatan "balas budi" yang kadang bikin kepala pening.
Buwuhan: Antara Iklas dan Catatan di Buku Tulis
Saya masih ingat betul waktu simbah dulu punya hajatan nikahan salah satu cucunya. Ia duduk di pojok rumah, mencatat satu per satu amplop yang masuk. Bukan karena pelit, tapi karena perlu dicatat. "Ben ngerti ngasih piro nek gantian," katanya. Artinya: biar tahu harus membalas berapa kalau nanti gantian kita yang diundang. Begitu kuatnya budaya timbal-balik ini, hingga muncul istilah "utang sosial." Bukan utang bank, bukan cicilan motor, tapi kewajiban moral untuk membalas bantuan dalam bentuk yang (minimal) setara.
Di sinilah letak tarik-menarik antara solidaritas dan tekanan sosial. Di satu sisi, tradisi buwuhan adalah wujud gotong royong: mereka yang punya rejeki menyumbang, yang punya hajat merasa terbantu. Sebuah sistem ekonomi berbasis rasa---bukan bunga bank. Tapi di sisi lain, ada rasa tak enak jika tak bisa membalas. Bahkan ada orang yang tak datang ke undangan bukan karena sibuk, tapi karena nggak enek duit, malu kalau cuma bisa ngasih sepuluh ribu.
Idul Adha: Momen Ganda
Idul Adha memberi dimensi baru pada tradisi ini. Karena di bulan ini, selain soal kurban, banyak juga keluarga memilih mengadakan hajat besar. Alasannya beragam: suasana sakral, keluarga sedang kumpul, atau sekadar ikut tren. Maka muncullah efek domino: semakin banyak yang punya hajat, semakin banyak undangan datang, dan tentu saja, semakin banyak amplop yang harus disiapkan. Pendek kata, bulan Dzulhijjah bisa jadi bulan paling boros bagi banyak keluarga di desa.
Anehnya, semua tetap berjalan. Mereka saling menguatkan, saling mengunjungi, dan saling mengingatkan hutang sosial dari hajatan-hajatan sebelumnya. Dalam perspektif antropologi, ini bisa dibaca sebagai jaringan sosial yang dibentuk melalui reciprocation---timbal balik. Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java menyebut sistem seperti ini sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat Jawa yang sangat menekankan harmoni, kebersamaan, dan rasa sungkan (sungkan culture). Tapi tentu saja, Geertz tak menyebut soal amplop isi lima ribu yang bikin orang minder.
Solidaritas atau Tekanan?
Pertanyaan kritisnya begini: apakah amplop buwuhan masih bisa kita sebut sebagai wujud solidaritas? Atau ia sudah bergeser menjadi semacam tekanan sosial yang menyamar dalam kebajikan?