Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepala Daerah, Belajarlah dari Yansen!

1 Desember 2014   05:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:23 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dikotomi Kota dan Desa

Enampuluh sembilan tahun Indonesia merdeka, namun mewujudkan Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur belum juga terwujud. Kesenjangan sosial akibat dari tidak meratanya pembangunan, berdampak pada adanya dikotomi kota dan desa. Kota dianggap sebagai simbol kemajuan dan kesejahteraan. Sedangkan desa dipersepsikan sebagai tempat tertinggal, bodoh dan miskin. Jangan heran kalau kata 'udik', kampungan' dan 'ndeso' digunakan untuk merendahkan seseorang.

Kesenjangan sosial akibat dari tidak meratanya pembangunan Jawa dan luar Jawa serta kota dan desa, mendorong arus urbanisasi yang memikat warga desa untuk pindah ke kota. Akibatnya, muncul masalah baru berupa kerawanan sosial. Hal ini mengingatkan saya pada perjalanan hidup keluarga saya sebagai perantau dari sebuah desa di Madura, pergi ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik pada tahun 1980-an. Gemerlap Jakarta seperti lampu terang yang menarik laron-laron untuk terbang mendekat. Walau akhirnya kami pulang kembali ke Madura, saat Ayah diterima bekerja sebagai pelaut kapal luar negeri. Saat itu Ayah memutuskan pergi merantau sama seperti saudara dan tetangga, ke Jakarta, karena tidak ada bisa dilakukan untuk menghidupi keluarga. Untuk menjadi petani tidak memiliki sawah untuk ditanami. Sedangkan untuk menjadi nelayan, tidak punya cukup modal untuk membeli perahu dan peralatannya. Bahkan listrik saja belum masuk ke desa kami hingga menjelang tahun 1990-an. Desa tempat tinggal saya berada di pesisir Bangkalan yang sangat dekat dengan Surabaya. Bayangkan dengan desa-desa lain yang lebih jauh, bahkan di luar pulau yang hingga saat ini saja masih belum memiliki infrastruktur jalan dan listrik yang memadai. Ada yang salah dengan paradigma pembangunan Indonesia, sehingga sampai 69 tahun merdeka, belum juga bisa menjadi negara maju.

Kesenjangan sosial antara Jawa dan luar Jawa, kota dan desa juga dapat membahayakan NKRI. Baru-baru ini tersiar berita, beberapa desa di perbatasan Indonesia-Malaysia di wilayah Kalimantan Utara tepatnya di Kabupaten Nunukan. Masalah utamanya adalah karena akses ke Malaysia lebih mudah daripada ke kotanya sendiri untuk berdagang maupun memenuhi segala kebutuhan. Belum lagi beberapa barang dari Malaysia lebih murah daripada dari Indonesia sendiri. Kerawanan ini bisa terjadi hampir di semua perbatasan wilayah yang pembangunannya tidak diperhatikan pemerintah pusat dan daerah.

Kepala Desa Calon Koruptor?

Saat pertama kali mengetahui Rancangan Undang-undang Desa dan kemudian disahkan pada 18 Desember 2013, saya begitu gembira karena setiap desa akan langsung diberi dana dari APBN antara 1 hingga 1.4 milyar rupiah untuk memberdayakan desanya. Itu artinya setiap desa memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang akan dibangun di desanya sesuai kebutuhan masing-masing. Tidak seperti di jaman sebelumnya, aparat atau tokoh politik akan memberikan janji membangunkan jalan atau waduk irigasi bila partai politiknya menang pemilu di daerah tersebut. Akibatnya, banyak daerah yang penduduknya berseberangan pilihan politiknya dengan partai penguasa, tidak akan pernah mendapatkan pembagian kue pembangunan. Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ini memberikan harapan dan jaminan, bahwa pembangunan akan terlaksana di semua wilayah, apapun pilihan politik warganya.

Namun pembagian dana pembangunan milyaran rupiah ke setiap desa ini juga membuat saya cemas. Akan kah muncul koruptor-koruptor baru dengan ditangkapnya banyak kepala desa yang diberi amanat sebagai kuasa anggaran. Mungkin saja kepala desa dan lurah yang mendapatkan dana pembangunan 1 milyar tersebut tidak berniat korupsi, bisa saja salah administrasi dan melanggar undang-undang atau peraturan pemerintah tentang pengadaan barang dan jasa.

Kecemasan yang sama disampaikan juga oleh Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah, yang melihat fenomena banyaknya kepala desa yang berurusan dengan hukum akibat penyalahgunaan dana bantuan yang hanya 140 juta, apalagi bila harus mengelola dana 1.4 milyar. Muncul pertanyaan besar, "Sudah siapkah perangkat desa menerima amanat dana pembangunan 1 milyar tersebut?". "Akankah pembangunan dari desa bisa berhasil, sementara perangkat desa dan masyrakatnya tidak pernah punya pengalaman dalam mengelola dana pembangunan sendiri?"

Yansen Menjawab Pertanyaan Saya

[caption id="attachment_357072" align="aligncenter" width="300" caption="Buku "][/caption]

Beberapa hari ini saya mencoba menelaan sebuah buku karya Dr. Yansen TP., M.Si dengan judul "Revolusi dari Desa" yang memperkenalkan paradigma GERDEMA atau Gerakan Desa Membangun. Dari buku ini saya banyak mendapatkan jawaban atas pertanyaan dan kecemasan akan implementasi UU No 6 Tahun 2014 tersebut. Yansen bukan hanya sebagai pemrakarsa dan penulis buku Gerakan Desa Membangun, tetapi Beliau juga sebagai pelaku pelaksana paradigma pembangunan yang dimulai dari desa.  Bahkan GERDERMA ini merupakan hasil penelitian desertasi beliau dengan judul "Masyarakat Desa Tertinggal di Wilayah Perbatasan (Studi Kasus PadaMasyarakat Desa Tertinggal di Wilayah Perbatasan Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur dengan Serawak, Malaysia)" yang artinya telah teruji secara akademik.

Sebelum UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa ini disahkan, Yansen selaku Bupati Malinau telah terlebih dahulu menerapkan konsep dan semangat yang ada pada undang-undang tersebut 3 tahun sebelumnya dengan nama GERDEMA atau Gerakan Desa Membangan dan berhasil dengan baik hingga saat ini. Itu artinya, GERDEMA bisa sebagai pilot project dari pelaksanaan Undang-undang Desa, agar secara nasional kepada daerah yang lain dapat belajar bagaimana meningkatkan keberhasilannya membangun desa dan menekan peluang terjadinya kegagalan program 1 milyar 1 desa. Menurut Prof. Dr. Adri Patton, M.Si Sekretaris Daerah Malinau, 109 desa yang ada di Kabupaten Malinau telah berhasil mengelola APBDesnya sendiri secara mandiri, efektif, efisien dan akuntabel. Sehingga paradigma penerapan GERDEMA layak untuk ditularkan kepada daerah kabupaten dan kota lain sesuai UU No 6 Tahun 2014.

[caption id="attachment_357071" align="aligncenter" width="544" caption="Dr. Yansen TP.,M.Si, Bupati Malinau (Foto: tribunnews.com)"]

141736028164423452
141736028164423452
[/caption]

Apa Hebatnya GERDEMA?

GERDEMA pada prinsipnya adalah pembangunan dimulai dari desa dengan mengalokasikan dana yang cukup besar dan dengan melibatkan seluruh unsur desa, baik aparat desa maupun yang lebih penting lagi adalah partisipasi masyarakat desanya. Fokus utamanya adalah pada alokasi dana dan partisipasi masyarakat agar adanya transformasi semangat untuk membangun desa. Dengan demikian, desa dan masyarakatnya tidak lagi hanya sebagai objek pembangunan, tetapi juga bertindak sebagai subjek pembangunan yang aktif untuk menentukan apa yang terbaik bagi desa mereka. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan, mulai dari perencaanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi. erbeda dengan paradigma pembangunan lama yang bersifat top-down, dimana seolah-olah pemerintah pusat tahu segalanya apa yang harus dibangun di setiap wilayah dan desa, pada paradigma baru ini, desa menjadi bagian aktif untuk menentukan pembangunan yang sesuai bagi kebutuhan mereka sendiri.

Pertanyaan apa hebatnya Revolusi dari Desa dengan Gerakan Membangun Desa? Konsep pembangunan dimulai dari masyarakat atau desa, bukanlah konsep baru. Sejak tahun 1970, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB juga telah mencanangkan Community Development. Bahkan beberapa negara di Afrika dan Asia seperti Korea Selatan juga telah menjalankan konsep pembangunan dari desa. Namun kehebatan GERDERMA sebenarnya ada pada adaptasi konsepnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kultur masyarakat Indonesia. Yansen selaku penggagas dan implementator, sangat pintar untuk mengantisipasi kelemahan dan ancaman dalam implementasi GERDEMA. Menurut Yansen, “Pemerintah daerah harus percaya kepada rakyatnya untuk melakukan yang terbaik untuk desanya. Jika pemerintah memberikan otonomi kepada rakyat, maka dalam waktu tertentu rakyat menjadi mandiri dan percaya diri untuk membangun desanya.” Selain strategi, modal kepercayaan bahwa masyarakatnya mampu untuk melaksanakan semua program itulah yang menjadi kunci suksesnya.

Strategi yang diterapkan Yansen dalam implementasi GERDEMA meliputi 3 hal, yaitu: a) The man behind the gun dengan memilih orang yang tepat pada posisi yang tepat, b) Pemimpin harus membangun sistem dengan menetapkan visi-misi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat, dan yang terakhir c) Adanya usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui seminar, pelatihan dan metode pengembangan SDM lainnya. Bagaimanapun, kualitas SDM akan sangat menentukan bagaimana semua program pembangunan desa tersebut direncanakan, dilaksanakan dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, GERDEMA ini bila dilaksanakan dengan baik, akan menghasilkan pembangunan yang bersifat a) Adil dan merata, b) Efektif, c) Efiesien, d) Akuntabel dan E) Mandiri. Menurut Yansen, pada pelaksanaan awal pasti akan ada kelemahan dan kekurangan, namun dalam waktu tertentu masyarakat akan dapat mandiri dan percaya diri dalam membangun desanya.

Penutup

Solusi dalam mengatasi masalah-masalah kesenjangan sosial dan percepatan pembangunan adalah dengan melakukan pembangunan dimulai dari desa-desa. Paradigma yang disampaikan Yansen - Bupati Malinau dengan GERDEMA-nya bisa menjadi model bagaimana melaksanakan pembangunan dari desa dengan adanya kepercayaan, dukungan dana dan menarik sebanyak mungkin partisipasi aktif masyarakan.

Ada baiknya buku "Revolusi dari Desa" ini disebar-luaskan dan dibaca oleh kalangan birokrat dari desa hingga presiden sekalipun  dan semua masyarakat, agar timbul kesadaran bersama, bahwa untuk mengubah nasib untuk maju, harus dimulai dari pemikiran adanya revolusi dari desa dengan Gerakan Membangun Desa.

Para kepala daerah dan pemerintahan, ada baiknya belajar dari Yansen, bagaimana membangun  kepercayaan kepada masyarakatnya, sebagai modal utama untuk membangun desa. Bila dana sudah tersedia, maka hal yang paling penting berikutnya adalah partisipasi seluruh masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawal secara bersama-sama.

Daftar Bacaan

Yansen TP., Dr.,M.Si.,"Revolusi dari Desa: Saatnya dalam  Pembangunan Percaya pada Rakyat", https://app.box.com/s/9dr948z63k48d0ieuzlp

http://www.tribun-maluku.com/2013/12/uu-desa-disahkan-setiap-tahun-rp-14.html

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/16/078622288/Gubernur-Ganjar-Khawatir-Banyak-Kades-Dipenjara

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/13/neyyz7-tni-warga-tiga-desa-di-perbatasan-pindah-ke-malaysia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun