Abstrak
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia merupakan salah satu kasus penting dalam hukum internasional yang menyoroti persoalan kedaulatan wilayah dan warisan kolonial. Makalah ini mengkaji latar belakang historis, dasar hukum klaim kedua negara, proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional (ICJ), serta implikasi putusan ICJ terhadap hubungan bilateral dan hukum internasional. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan dan analisis yuridis terhadap dokumen resmi dan putusan ICJ. Hasil kajian menunjukkan bahwa putusan ICJ yang mengedepankan prinsip effectivits menjadi preseden penting dalam penyelesaian sengketa wilayah secara damai dan berlandaskan hukum. Makalah ini memberikan pemahaman komprehensif tentang dinamika sengketa ini dan relevansinya bagi penyelesaian konflik wilayah di masa depan.
Kata kunci: Sengketa wilayah, Pulau Sipadan, Pulau Ligitan, Mahkamah Internasional, hukum internasional, effectivits.
Pendahuluan
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan telah menjadi perhatian dunia internasional karena melibatkan dua negara ASEAN yang bertetangga, Indonesia dan Malaysia. Kedua pulau kecil ini memiliki nilai strategis dan ekologis yang tinggi, serta menjadi titik penting dalam penentuan batas maritim dan hak eksplorasi sumber daya. Sengketa ini berakar dari ketidakjelasan batas wilayah warisan kolonial Belanda dan Inggris yang berlanjut pascakemerdekaan. Upaya penyelesaian bilateral yang berlangsung selama puluhan tahun tidak membuahkan hasil, sehingga pada 1997 kedua negara sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. Putusan ICJ pada 2002 yang memenangkan Malaysia atas kedua pulau tersebut menjadi contoh penyelesaian sengketa wilayah secara damai melalui mekanisme hukum internasional.
Latar Belakang Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Laut Sulawesi, dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Sabah. Meskipun kecil dan tidak berpenduduk, kedua pulau ini memiliki ekosistem laut yang kaya dan potensi wisata bahari. Sengketa bermula dari ketidakjelasan batas wilayah kolonial yang diwariskan Belanda dan Inggris. Konvensi 1891 yang mengatur batas wilayah kolonial tidak secara eksplisit mengatur status kedua pulau. Setelah kemerdekaan Indonesia dan pembentukan Malaysia, klaim atas pulau-pulau ini menjadi tumpang tindih. Malaysia melakukan pembangunan mercusuar dan konservasi penyu, sementara Indonesia mengklaim aktivitas nelayan dan administrasi di sekitar pulau. Ketidaksepakatan ini menyebabkan ketegangan yang akhirnya diselesaikan melalui ICJ.
Dasar Hukum Klaim Indonesia dan Malaysia
Indonesia mengklaim berdasarkan Konvensi 1891, peta kolonial, dan aktivitas nelayan serta administratif yang dianggap sebagai bukti kedaulatan. Namun, bukti aktivitas tersebut tidak didukung oleh pengelolaan administratif resmi. Malaysia mengajukan bukti pengelolaan administratif nyata, termasuk Turtle Preservation Ordinance 1917, kawasan suaka burung 1933, dan pembangunan mercusuar 1962-1963. Malaysia menekankan prinsip effectivits---penguasaan nyata dan berkelanjutan sebagai dasar kedaulatan.
Proses Penyelesaian di Mahkamah Internasional
Pada 31 Mei 1997, Indonesia dan Malaysia menandatangani Special Agreement untuk menyerahkan sengketa ke ICJ. Proses persidangan meliputi pengajuan dokumen tertulis, sidang lisan di Den Haag pada Juni 2002, dan pemeriksaan bukti. Kedua negara mengajukan argumen hukum dan bukti sejarah yang saling bertentangan. ICJ menilai bukti pengelolaan administratif Malaysia lebih kuat dibandingkan klaim Indonesia.