Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Sinisme Sepak Bola Indonesia (Apresiasi Sederhana Buku Kompasianer)

16 Februari 2021   18:04 Diperbarui: 16 Februari 2021   18:08 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak depan buku diambil dengan kamera handphone: dokpri

Fery Widyatama, VVB SOLO Untuk INDONESIA MERDEKA, Lamongan, Penerbit PAGAN PRESS, 2021, 111 halaman.

Tidak banyak penulis, apalagi penulis buku di antara kita. Jauh lebih sedikit yang menghasilkan buku terkait sejarah sepak bola di Indonesia. Aku pun tak ada dalam bilangan yang sedikit itu.

Janganlah hal ini dibebankan pada kita, kompasianer. Toh, dari sekian banyak penulis juga penulis buku di luar sana, sangat sedikit yang melakukan seperti Fery Widiatama. Bisa kita hitung dengan jari buku yang serius membahas sepak bola Indonesia. Bisa kita jawab dengan lekas apakah ada penulis dengan fokus historiografi sepak bola dalam negeri yang kuat.

Bagi saya, buku "VVB Solo untuk Indonesia Merdeka" menarik. Pertama, buku ini ditulis oleh seorang guru, pengampu mata pelajaran Sejarah di salah satu SMA di Surabaya, Jawa Timur.

Sebagai guru muda, Fery masih sempat berpikir untuk menghasilkan buku tentang salah satu potongan penting dalam sejarah sepak bola Indonesia, alih-alih riwayat raja-raja dan kerajaan, atau berbagai fenomena historis mutakhir.

Dunia kepenulisan adalah ruang sepi yang tak terlalu seksi untuk didekati. Apalagi soal menulis buku, buku sepak bola apalagi.

Kedua, apa yang mendorongnya untuk melakukan hal yang tidak banyak dilakukan para guru sejarah? Salah satu jawaban bisa ditemukan dalam riwayat kehidupannya.

Sejak kecil ia tertarik dengan dunia sepak bola. Fery punya talenta olah bola yang menonjol sejak belia. Tak heran sejak remaja ia sudah bergabung dengan klub sepak bola. Mulai meniti karier di Persida U15 tahun 2009, lalu Persida U17, lantas Deltras U18 hingga U21.

Ia sempat bermain di sejumlah kompetisi tingkat nasional seperti Liga Nusantara bersama PSS Situbondo dan Liga 3 dengan berbaju Blitar United. Kini ia masih tetap dekat dengan sepak bola sebagai pelatih di sejumlah klub dan sekolah.

Kita akhirnya mafhum akan dorongan Fery untuk mendalami sejarah sepak bola hingga ke akarnya. Seorang guru sejarah plus pelaku sepak bola yang mau berbagi hasil penelitian tentang cikal bakal salah satu klub legendaris di Indonesia yang masih eksis hingga hari ini dengan fan fanatik nan atraktif. Persis Solo.

Alat perjuangan

Ketiga, setelah menyinggung sepintas sang penulis dengan latar belakang kedekatannya dengan sepak bola, tibalah kita pada substansi buku. Apakah Fery berhasil menggarap buku ini? Apakah buku ini berangkat dari historiografi yang kuat dan dikemas secara apik sehingga layak dikonsumsi publik dan pantas mengisi daftar pendek referensi sejarah sepak bola Indonesia?

Saya tentu tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara utuh dan lengkap di sini. Kapasitas dan ruang yang terbatas membuat saya harus tahu diri. Namun, beberapa hal yang sekiranya penting untuk digarisbawahi, lebih sebagai pembacaan amatir yang juga bisa dilakukan dengan mudah oleh pembaca lain, sejauh dapat dikemukakan tanpa tedeng aling-aling.

Buku ini dibuka dengan pengetahuan umum tentang sepak bola. Ada penjelasan singkat tentang sepak bola sebagai salah satu cabang olahraga yang nyaris setua keberadaan manusia. Popularitasnya yang begitu mencolok saat ini ternyata hanyalah puncak gunung es dari bangunan tradisi kuno sebelum tahun Masehi.

Bila kini kita mengenal sepak bola dalam rupa yang modern dengan aturan dan organisasi yang tertata rapih, kostum pemain yang elegan, dan fasilitas yang mentereng, pada awal kemunculannya, ia adalah cabang olahraga elite, dengan corak separatis, spekulatif dan sarat keterbatasan. 

Bangsa Yunani dan Tiongkok mula-mula mencoba melakukan semacam tendangan dengan gelembung berisi angin. Orang-orang di kota Lintzu, Tiongkok, memainkan bola yang terbuat dari kulit berisi rambut atau rumput kering.

Orang Tionghoa menyebut permainan itu Tsu Chiu. Dimainkan oleh para tentara sebagai bagian dari latihan militer serentak hiburan di ulang tahun raja. Demikian juga di Jepang, kulit kijang berisi udara dimainkan dengan penuh hikmat oleh kalangan ningrat di momen-momen tertentu.

Selanjutnya di Inggris dengan menggunakan tengkorak bangsa Viking, lalu diganti usus lembu yang digelembungkan dengan angin dan dimainkan secara masal oleh 500 orang per regu dengan jarak gawang mencapai 3-4 km.

Cabang olahraga yang dikenal di Prancis abad ke-14 sebagai "lasoule" dan "calcio" di Italia, mulai masuk Indonesia seiring ekspansi kolonialisme Belanda. Awalnya ia dimainkan secara terbatas oleh kalangan tertentu: mula-mula khusus orang Belanda, lalu orang-orang Tionghoa, menyusul kaum bumiputera namun yang dianggap setara dengan bangsa Belanda.

Buku ini tegas menyebut pada masa itu, sepak bola masih menjadi permainan elitis. Hanya kaum-kaum tertentu yang boleh bermain. Ada jarak dan tembok tinggi di antara Belanda dan orang pribumi. Pemandangan yang jamak pada masa itu di hampir semua bidang kehidupan. Tidak hanya di lapangan sepak bola, tetapi juga ruang-ruang organsisasi, kelas-kelas pendidikan, tempat-tempat umum, hingga tempat tinggal sekalipun.

Kemudian, sepak bola dipakai sebagai alat perjuangan oleh kaum pergerakan. Sifatnya yang mampu mengumpulkan banyak orang dipandang ampuh untuk membangun tali solidaritas dan persatuan sebagai kelompok terjajah.

Politik etis yang dihembuskan ke Hindia Belanda semakin membuka ruang bagi meluasnya sepak bola mulai dari sekolah-sekolah, hingga munculnya klub-klub sepak bola. Infrastruktur pendukung pun dibangun seperti jalan raya dan rel kereta api yang menghubungkan antarkota sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas klub dan para penonton.

Begitu juga kehadiran surat kabar harian dan majalah mingguan sebagai jembatan komunikasi antarklub, antara klub dan para penggemar, juga salah satu sarana mendapatkan pemasukan dari penjualan karcis.

Keempat, sepak bola sebagai alat perjuangan memang jelas disebut beberapa kali di buku tersebut. Sayangnya, bagaimana setiap detail perjuangan menuju kemerdekaan digerakan dari lapangan sepak bola dan bagaimana nasib sepak bola sebagai alat perjuangan tidak diurai secara tuntas di buku ini.

Bagaimana ending-nya saat Indonesia merdeka? Apakah berakhir bahagia karena ikut menjadi variabel determinan untuk kesimpulan Indonesia merdeka? Atau justru berkesudahan dengan rasa kecewa karena entah dengan sengaja atau tidak didepak dari buku sejarah lantaran kalah pamor dari aksi-aksi pergerakan dari medan politik lainnya?

Kita bisa memahami bila penulis tak sampai mengurainya secara panjang lebar. Bila harus menjelaskannya secara detail maka dibutuhkan puluhan lembar halaman tambahan. Sementara fokus buku ini justru pada salah satu perkumpulan sepak bola bernama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) yang dibentuk atas inisiatif kelompok bumiputera.

Adalah T.R. Ng.Reksohadiprojo, T.Soetarman, dan T.Sastrosaksono yang berinisiatif untuk mendirikan suatu bond sepak bola sebagai wadah untuk mempersatukan berbagai klub atau perkumpulan sejenis yang tengah menjamur. Inisiatif ini mendapat bentuk konkret pada November 1923 di Surakarta.

Kehadiran VVB menjadi salah satu tonggak penting bagaimana berbagai klub itu bisa bersatu. Beberapa klub yang terafiliasi dalam VVB antara lain Romeo, De Leew, Mars, Legioen, Kras, Pamor, Taruno Kembang, dan Mat. 

Persatuan itu sekaligus mengakhiri perasaaan inferior lantaran dianaktirikan klub-klub sepak bola bentukan Belanda, VBS dan teralienasi dari organisasi sepak bola Belanda atau Nederlandsch Indische Voetbal Bond.

Selain itu, VVB yang terbentuk bisa mengakomodasi klub-klub secara lebih luas, tidak hanya yang bermarkas di Solo dan Surakarta. Tetapi juga bisa melintas batas yang sebelumnya tidak bisa diseberangi oleh NIVB yang hanya berpusat di kota-kota besar seperti Bandung, Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya.

Ditambah lagi, NIVB bisa diikhtiarkan untuk menggelorakan kampanye mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga. Sasarannya tidak hanya untuk membuat cabang olahraga itu semakin populer dan klub-klub sepak bola semakin dikenal. Tetapi pertama dan utama adalah menjadi medan pembentukan fisik jasmani, magnet menarik perhatian banyak orang, yang pada gilirannya menjadi tanur memurnikan semangat pergerakan sebagai kaum terjajah.

Patut disebut, pembentukan NIVB merupakan langkah maju bagi kaum bumiputera setelah sekian lama disisihkan dari sepak bola. Sejumlah klub bentukan Belanda, juga Tionghoa sudah menjamur sejak 1912 di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Satu dekade kemudian, orang-orang Tionghoa mendirikan organsiasi sepak bola tersendiri bernama Comite Kampionwedstrijden Tiong Hoa (CKTH).

Meski peluang kaum bumiputera mendirikan klub-klub sepak bola baru tercipta kemudian, pembentukan VVB seperti membuka tembok tebal diskriminasi di satu sisi dan memantik kreativitas serupa di kota-kota lain. Indonesische Voetbal Bond Magelang terbentuk pada 1925, Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond dua tahun kemudian, dan inisiatif-inisiatif serupa di kota-kota lain.

Selanjutnya geliat klub-klub itu semakin terasa saat PSSI berdiri. Saat didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta, PSSI merupakan kependekan dari Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia. Sejak masa kepemimpinan Ir.Soeratin Sosrosegondo, VVB tidak pernah absen ambil bagian dalam berbagai kompetisi dan giat mengajak klub dari luar Hindia Belanda untuk beruji tanding.

Beberapa prestasi VVB coba dirinci di buku ini. Beberapa yang bisa disebut adalah menjadi juara kompetisi PSSI tahun 1935 yang digelar di Semarang. Prestasi itu mengangkat pamor VVB. Mereka mulai sering diikutsertakan dalam berbagai turnamen baik antarklub bumiputera, maupun dengan klub Belanda dan Tiongkok. Di samping itu, VVB juga sempat bertanding dengan Winners Sport Club dari Austria.

Geliat VVB yang tinggi kemudian membuat Sri Susuhunan Paku Buwono X rela merogoh kocek sebesar 30 ribu gulden untuk mendirikan Stadion Sriwedari. Ini merupakan stadion pertama yang dibangun dan dimiliki oleh pribumi.

Untuk ukuran saat itu, stadion yang selesai dibangun pada 1933 ini terbilang keren. Ada lintasan atletik, lampu sorot di setiap sudut, loker pemain lengkap dengan kamar mandi, serta drainase yang diatur secara baik sehingga saat musim hujan tiba stadion berbentuk oval itu tidak digenangi air.

Potongan momen peresmian Stadion Sriwedari: diambil  dari buku tersebut dengan kamera hp penulis.
Potongan momen peresmian Stadion Sriwedari: diambil  dari buku tersebut dengan kamera hp penulis.

Pembangunan stadion ini kemudian semakin meruntuhkan sekat-sekat dikotomis yang dibangun sebelum itu. Malahan, membuat kaum non pribumi kalah pamor karena tidak memiliki stadion sebagus itu. Dalam penggunaannya justru diatur agar kaum penjajah itu juga bisa ikut merasakan. Sebuah hantaman yang telak dan pembuktian yang manis!

Sejumlah catatan

Kelima, disebutkan dalam buku ini pada 13 Mei 1933, VVB berganti nama menjadi Perserikatan Sepak Raga Seloeroeh Soerakarta (Persis). Perubahan ini mengikuti anjuran PSSI untuk menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu secara tidak langsung ingin menekankan nasionalisme karena nama-nama yang dipakai jelas tak lagi mirip seperti klub-klub bentukan Belanda dan Tionghoa.

Saat pecah perang di Asia Pasifik dengan masuknya tentara Jepang, situasi sosial-politik dalam negeri pun terkena imbas. Tidak terkecuali dunia olahraga. Terhentinya sejumlah agenda kompetisi hingga keharusan PSSI bergabung dalam organisasi bentukan Jepang, Tai Iku Kai.

Selanjutnya secara repetitif penulis berbicara tentang PSSI yang sebelumnya sudah sempat disinggung. Hal ini menjadi salah satu catatan untuk buku ini. Repetisi untuk poin yang sama tidak hanya terkait PSSI, tetapi juga beberapa hal lain seperti gelar yang diraih VVB (hal 76).

Selain itu, sebagai sebuah tulisan yang berisi informasi sejarah sejauh dapat menjaga presisi penulisan sebagai salah satu tanda akurasi. Konsistensi penulisan nama tempat, orang, organisasi, atau kejadian sejauh dapat divalidasi sebagai sumbangsih pengetahun sejarah berharga bagi pembaca masa kini.

Ketetapan penulisan nama awal PSSI misalnya. Apakah "Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia" atau "Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia" seperti terdapat di halaman 87, atau "Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia" seperti kita temukan di sumber referensi lain?

Inkonsistensi juga terlihat dalam penulisan nama-nama klub. Seperti terlihat di halaman 43 dan berulang di halaman 44, timbul pertanyaan, mana penulisan yang benar Romeo atau R.O.M.E.O, De Leew atau De Leeuw, Mars atau M.A.R.S? Juga apakah klub Belanda China De Roode Lie juga termasuk dalam kelompok sang pemula VVB?

Hal lain yang patut disebut adalah terkait kohesivitas dan koherensi antarbagian. Sebagai pembaca amatir saya masih mendapati penggarapan yang kurang runtut. Salah satu bagian yang cukup kentara adalah soal sejarah sepak bola. Saat penulis menggarap sepak bola oleh masyarakat Jawa kita berharap pembicaraan akan semakin fokus. Namun yang ditemukan kemudian adalah mengulang kembali kisah sejarah sepak bola.

Bila sejarah sepak bola dikupas tuntas di bagian awal, selanjutnya semakin mengerucut ke konteks masyarakat Hindia Belanda, ulasan akan menjadi lebih apik. Begitu juga pembicaraan terkait PSSI di halaman 50 ditahan sampai setelah membicarakan sejarah PSSI secara tuntas seperit di halaman 87 maka pembaca awam seperti saya akan dengan mudah mencerna setiap bagian.

Saya membayangkan demikian. Pengantar dan pendahuluan yang tidak perlu terlalu dibedakan. Sekadar berisi catatan awal dengan hanya berisi sentilan-sentilan awal dan stimulus-stimulus pembuka untuk memantik rasa ingin tahu pembaca. Ditambahkan juga pertanggungjawaban metode penelitian yang dipakai.

Selanjutnya mulai memasuki konteks historis sepak bola secara umum dan ditahan untuk tidak terburu-buru masuk ke sepak bola Hindia Belanda. Pembaca perlu dijelaskan konteks sosial-kemasyarakatan secara umum agar kemudian tidak terkaget-kaget saat harus berbicara tentang sepak bola.

Demikian juga relasi sepak bola dengan pergerakan di Hindia Belanda dari sisi politik. Apakah sama-sama menyumbang secara diametral atau saling berpisah jalan namun mengarah pada tujuan yang sama sebagaimana judul buku ini: Indonesia merdeka? Bila tidak, maka hanya pembaca yang paham sejarah yang bisa dengan mudah menangkapnya dan kemudian dengan enteng menemukan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Terlepas dari itu, Fery sudah membantu kita untuk kembali ke akar dari mana sepak bola yang tumbuh dan hari ini seperti tidak terlihat mekar sesuai harapan. Fery sudah melanjutkan pekerjaan yang tidak banyak orang ingin ambil bagian. Apalagi ini soal sejarah yang mengandaikan ketekunan tinggu untuk mendapatkan sumber-sumber valid yang tidak mudah ditemukan.

Fery sudah memulai, kita berharap ia melanjutkan kerja positif ini dengan karya-karya yang lain tentang klub-klub tempo doeloe yang belum tersentuh atau digali sedalam-dalamnya. Pun memantik siapa saja yang berkehendak baik untuk menambah kazanah sejarah sepak bola Indonesia dengan penggarapan yang kaya.

Tampaknya, melihat seperti apa nasib sepak bola kita hari ini, bisa jadi buku yang bisa dilahap sekejap itu, tampak seperti palu godam yang menghantam segala kemewahan yang bisa kita nikmati cuma-cuma di atas jerih lelah perjuangan sulit dan pelik klub-klub dan pelaku sepak bola masa silam.

Jangan sampai, sinisme filsuf, ahli matematika, sekaligus sejarawan Inggris, Sir Bertrand Russel berlaku bagi kita. The only thing we learn from history is that we never learn from it. Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah ialah bahwa kita tidak pernah belajar darinya.

Terima kasih Fery, terus berkarya sampai jauh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun