Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menceritakan (Ulang) Sejarah Lewat Fotografi (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

26 Januari 2017   18:38 Diperbarui: 26 Januari 2017   19:11 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Chaerol Riezal

Saya, anda, dia, nya, mereka, kalian, atau keluarga itu, yang melihat foto sejarah di museum bagaikan berada dalam ruang tertutup dengan satu jendela. Sadar atau tidak, fotografer adalah orang yang mengarahkan dimana jendela tersebut akan dipasang. Peran fotografer menjadi sangat penting, karena kita akan melihat apa yang ingin ia perlihatkan. Dan sadar atau tidak, koleksi foto sejarah yang ada di museum, seolah mengajak kita untuk berbicara denganya atau justru kitalah yang memulai percakapan dengan foto sejarah.

Mengapa koleksi foto yang dipajang di Museum Benteng Vredeburg Yogyakara (atau juga di museu lainnya), dianggap sebagai sebuah mahakarya? Jawabannya karena koleksi foto itu memiliki simbol-simbol yang bisa dikontruksi dengan bebas oleh yang siapapun yang melihatnya ketika berkunjung ke sebuah museum. Lalu, mengapa foto Keraton Yogyakarta dipertanyakan oleh putri dari keluarga itu dengan pertanyaan mengapa di Yogyakarta memiliki keraton, sementara di daerah lainnya apakah juga punya? Jawabannya karena foto itu seolah mengajak sang putri untuk berbicara kepadanya, atau sebaliknya justru putri itulah yang mengajak berbicara kepada foto tersebut.

Saya akhirnya mengerti. Praduga saya benar, bahwa putri-putri itu penasaran dengan foto-foto sejarah. Jadi saya berhenti mengikuti mereka. Saya yakin, masih ada adegan lainnya yang (mungkin) akan diperagakan lagi oleh keluarga itu, tetapi saya tidak tahu adegan seperti apa. Ini dikarenakan saya sudah tak lagi membuntuti mereka. Saya pun berlalu meninggalkan mereka; meninggalkan sebuah keluarga yang romantis sekaligus menginspirasi saya. Tetapi saya tidak langsung kembali ke tempat duduk yang semula, namun terlebih dahulu melihat beberapa koleksi foto sejarah di museum tersebut. Lalu, saya melihat ada tempat duduk yang kosong.

Setelah dikejutkan oleh keluarga itu, tidak lama berselang, kira-kira sekitar satu jam yang lalu saya kembali dikejutkan oleh hal dan ditempat yang sama pula. Tapi, kali ini saya dikejutkan oleh seorang pria dan wanita. Jangan tanyakan siapa nama mereka berdua. Saya tidak tahu.

Tidak jauh dari tempat saya duduk, terlihat sepasang anak muda yang sedang bercakap-cakap sangat santai tapi kelihatannya serius. Si wanita mengenakan pakaian yang lebih mirip kostum Alice dari Alice in Wonderland --mungkin baru saja pulang dari pesta kostum atau apalah--, sementara si pria mengenakan jaket tebal, lengkap dengan topi kupluk dan sarung tangan plus masker dileher yang kelihatan sudah amat dekil. Di tangan keduanya ada sebotol minuman bermerek minute maid pulpy orange dan frestea rasa apel.

Keduanya bercakap-cakap dengan amat akrab, sampai-sampai saya mengira bahwa mereka pastilah berpacaran. Entah apa yang sedang dibicarakan, yang jelas mereka sedang berbicara di depan sebuah foto sejarah. Sampai kemudian si wanita itu dipanggil oleh sekelompok temannya --yang berpakaian tidak kalah necis-- yang baru saja keluar dari bagian koleksi foto museum di dekat pintu. Si wanita berpisah dengan ramah dari si pria itu.

Si wanita tadi berjalan dengan teman-temannya, sementara si pria ia juga berjalan ke arah yang lain. Sambil menengok sekali ke arah foto sejarah dan wanita tadi, pria itu pun beranjak dari tampat bercakapannya. Kemudian pria itu meletakkan botol minumannya ke tempat sampah. Ia melewati tempat duduk saya dan seketika itu pula ia berlalu dihadapan saya begitu saja, tetapi kami sempat bertatap wajah selama dua detik sebelum ia pergi arah pintu gerbang depan dan beralih ke area parkir. 

Sambil merapikan jaket dan tasnya, kemudian membayar uang parkiran dan melihat kiri-kanan, sore itu juga ia pulang dari museum. Akhirnya, dugaan saya pun salah, bahwa mereka berdua itu ternyata tidak berpacaran. Mereka berdua rupanya orang asing yang sekadar saling bercakap-cakap belaka. Hanya takdir yang mempertemukan mereka di museum.

Kejadian itu membuat saya heran, padahal yang mengalami orang lain. Sampai-sampai saya ikut bertanya dalam hati; bagaimana mungkin dua orang yang tidak saling kenal satu sama lain, bisa terlihat akrab bahkan seperti orang berpacaran hanya gara-gara foto sejarah. Mereka berdua bercakap-cakap sambil menengok ke arah foto dan sesekali baik pria ataupun wanita itu menoleh ke wajah masing-masing secara bergiliran.

Jauh dari Yogyakarta, kira-kira sekitar 125 kilometer ke arah Semarang, disana ada Lawang Sewu. Dan disana juga ada teman seperjuangan saya. Ada 3 orang pria (Rizal, Ajis, Jona) dan 3 orang perempuan (Widia, Sharfina, Nina) yang baru saja menikmati perjalanannya.

Apa yang saya alami di Semarang, berbeda yang di Yogyakarta. Tetapi adegan di Semarang adalah rekaan ulang apa yang alami di Yogyakarta. Namun inti dari adegan atau rekaan ulang itu tetap sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun