Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menceritakan (Ulang) Sejarah Lewat Fotografi (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

26 Januari 2017   18:38 Diperbarui: 26 Januari 2017   19:11 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Chaerol Riezal

Oleh: Chaerol Riezal*

Kenangan adalah sajian paling klise di muka bumi ini. Anda tahu, manusia hanya mengingat hal-hal yang sifatnya “paling”, entah itu paling bagus atau paling buruk sekalipun. Momen yang dianggap biasa-biasa saja, hanya akan dibuang dari lembaran serebrum (otak besar) atau hanya diparkirkan (disimpan) untuk sementara waktu, dan akan diingat kembali pada suatu waktu tertentu. Sebaliknya, hal-hal yang bersifat (paling) bagus, akan terus diingat, dikenang, dan akan diceritakan dari satu mulut ke mulut yang lain atau kepada kebanyakan orang dan teman-temannya.

Kenangan tidak menyajikan realita sebagaimana adanya, namun hanya mengingat yang apa kita mau. Karenanya, foto adalah medium yang tepat untuk menziarahi kenangan, terutama yang terlupakan oleh waktu (amnesia ingatan).

Sejarah dan fotografi adalah kawan lama. Tidakkah ada yang bertanya mengapa foto-foto pahlawan nasional dipajangkan di dalam ruangan kelas sekolah (SD, SMP, SMA atau yang sederajat)? Tidakkah ada yang bertanya, mengapa orang-orang mau melukiskan kembali tentang seorang (sosok) tokoh yang sentral, atau tentang kehiduapan manusia di masa lalu, atau juga tentang hal-hal yang indah yang dilukis melalui imajinasinya? Mengapa?

Jika sejarah adalah cerita, maka fotografi adalah pena lainnya. Sejarah hanya akan menjadi hikayat semata, jika tidak ditulis dan dibukukan. Lambat laun statusnya pun akan mengendur, pudar dan menjadi dongeng sebelum tidur. Foto datang untuk memberikan bukti (sejarah) yang tak terbantahkan, tentu saja dengan foto yang orizinal. Karena itulah, melalui dan berkat sebuah foto sejarah atau bahkan lebih dari satu foto, orang-orang masih bisa menceritakan ulang peristiwa sejarah tersebut, dan mengingatnya kembali.

Jika tidak percaya, tanyakan saja kepada awak redaksi (surat kabar) atau lihat saja bagaimana seorang wartawan menceritakan ulang sebuah peristiwa dalam bentuk berita, video dan foto kepada khalayak ramai, setelah ia berhasil memotret kejadian yang ia liput secara langsung.

***

Apa yang terbayang dalam benak Anda jika seseorang yang Anda kenal, menyodorkan sebuah foto kenangan dihadapan Anda? Saya yakin, pada saat itu juga Anda (akan) langsung mengingat momen itu dimana Anda hadir dalam foto kenangan tersebut. Tidak akan menjadi masalah apakah foto yang disodorkan itu bernuasa romantisme, atau bahkan sekalipun berbau melankolis. Tergantung bagaimana Anda merespons foto tersebut. Tetapi yang jelas, ingatan Anda yang dulu sempat terlupakan oleh waktu, akan kembali muncul ketika seorang teman menyodorkan foto kenangan Anda yang telah disimpan selama puluhan tahun.

Pagi itu (saya lupa entah tanggal berapa), seorang teman mengirimkan saya sebuah foto. Foto itu dipotret secara diam-diam. Saat foto itu dipotret, saya sedang duduk bersama dengan seorang bapak yang bekerja di sebuah tempat disamping Museum Tsunami Aceh, yaitu Kerkhof. Kebetulan, bapak itu berada disebelah kiri saya. Sementara teman saya tepat berada dibelakang saya. Sebelum ke Kerkhof, kami singgah dulu ke sebuah warkop untuk membeli kopi, kue dan makanan ringan lainnya. Tujuannya: agar suasana pertemuan nanti antara kami dengan bapak itu bisa lebih mencair.

Ketika foto itu diambil, saya sedang meminta beberapa keterangan untuk menambah kekurangan informasi terkait artikel yang sedang saya tulis diwaktu itu (artikelnya bisa Anda baca di blogger Bunga Rampai Aceh yang berjudul: Kerkhof, Bukti Dasyatnya Perang Belanda di Aceh). Melihat saya sedang asik ngobrol dengan si bapak, disaat itulah teman saya memotretnya. Teman saya mencoba mengabadikan momen itu lewat androidnya disaat kami sedang meneguk segelas kopi hitam. Jadi, saya sama sekali tidak tahu ia memotret kami lewat belakang. Kerkhof adalah saksi bisunya.

Sebagai informasi tambahan tentang Kerkhof, saya beritahukan disini: Peutjut Kerkhof atau Pemakaman Peutjut atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kerkhof adalah taman perkuburan Belanda yang terletak di Banda Aceh di daerah Blower atau tepatnya dibelakang Museum Tsunami. Selain makam-makam pasukan Belanda, Korps Marsose, Jenderal Kohler, para Jenderal besar Belanda dan orang terkenal lainnya, di Kerkhof juga terdapat makam-makam orang Tionghoa, warga setempat yang beragama Kristen dan makam anak Sultan Aceh yang beragam Islam bernama Pocut Meurah Pupok. Poteu Cut atau Pocut adalah sebutan kesayangan untuk anak Sultan Iskandar Muda. Sebutan mesra itu ditujukan kepada Meurah Pupok, anak penguasa Kerajaan Aceh Darussalam. Tapi karena Pocut dianggap melanggar hukum Islam (berzina), ia harus berakhir diujung pedang (dipancung) ayahndanya sendiri. Jumlah jenazah perkuburan di Kerkhof ini diperkirakan sekitar 2.200 jiwa orang.

Image result for Chaerol Riezal
Image result for Chaerol Riezal
Image result for Chaerol Riezal
Image result for Chaerol Riezal
Image result for Chaerol Riezal
Image result for Chaerol Riezal
Kamu masih ingat foto ini?, tulis teman saya disalah satu isi caption yang dibubuhkan emoj senyum (:D). Tentu saja saya masih ingat foto itu, jawab saya secara singkat. Saya paham maksud dari caption dan emoj dalam foto yang dikirimkan olehnya. Ketika saya melihat foto sambil membaca caption yang ia tulisan itu, ingatan saya langsung tertuju pada hari-hari dimana saya dan dia harus mendorong sepeda motor yang kehabisan bensin saat kami sedang mencari informasi tentang Kerkhof.

Lewat foto jepretan teman saya itu, saya masih ingat momen-momem dimana saya sibuk mengumpulkan beberapa informasi terkait masalah yang sedang saya tulis waktu itu. Saya juga ingat tentang: jangankan untuk menemui orang-orang yang sering berbicara soal sejarah Aceh di koran terbitan Banda Aceh, untuk masuk ke Pendopo Gubernur Aceh saja sulitnya minta ampun. Padahal setahu saya, pendopo itu dulu adalah bekas wilayah istana Kerajaan Aceh Darussalam dan salah satu tempat dimana pasukan Aceh dan Belanda bertempur.

Tentang foto yang dikirimkan oleh teman itu, saya mengibaratkan seperti sebuah KTP (Kartu Tanda Penduduk). Bukankah kita bisa bercerita sesuai data yang tertera dalam KTP tersebut?. Mulai dari nama, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, agama yang dianut, jenis kelamin, pekerjaan, sampai ke status perkawinannya. Tergantung bagaimana si penulis menceritakan dan memilih kata-kata yang sesuai, sehingga dari data yang terdapat dalam KTP tersebut bisa berubah menjadi sebuah kalimat atau alur cerita.

Foto juga demikian. Anda bisa menceritakan ulang sejarah lewat sebuah foto. Artinya, lewat sebuah foto yang ingin kita ceritakan ulang itu, ada proses dimana kita mencoba mengingat ingatan yang terlupakan oleh waktu. Dan tentu saja, ini bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi membuat kita menantang.

Sebagai teman yang sering berdebat tentang sejarah ketika kami ngopi di warkop langganan di Banda Aceh, dia adalah orang yang cocok untuk diajak bertukar pikiran tentang apa yang sedang kami bahas. Tepat ketika saya telah menerbitkan tulisan tentang Kerkhof tersebut, ia mengirimkan foto itu. Begitu manis caption yang ia tuliskan untuk saya, sampai-sampai ia menguak sebuah fakta tentang foto itu, bahwa saya (katanya) punya bakat luar biasa untuk menjadi seorang peneliti dan penulis di masa yang akan datang.

***

Minggu sore adalah waktu yang tepat untuk berleha-leha, apalagi sembari menenguk just kepala muda di sebuah bibir pantai dengan ombak yang tidak terlalu besar. Sayangnya, untuk saat ini mengingat saya tinggal diwilayah tengah, jarak itu terlalu jauh untuk bisa pergi ke pantai. Tetapi, saya tidak kehabisan akal dan berhenti sampai disitu. Masih ada berbagai cara (lainnya) yang tersedia agar bisa menikmati kelonggaran waktu.

Di temani dengan secangkir wedang ronde yang mangat, saya melepaskan kepenatan di sebuah tempat yang sedikit adem. Kebetulan saya pun perginya sendiri. Saya benar-benar menikmati suasana sore hari diwaktu itu. Tetapi pada saat bersamaan, ketika saya sedang menikmati wedang ronde seteguk demi seteguk, tiba-tiba saja ingatan saya melayang ke sebuah; “foto sejarah di museum, keluarga itu, sepasang pria dan wanita yang tidak saling kenal, dan teman seperjuangan saya dipenghujung bulan Oktober dan pertengahan November tahun 2016.”

Anda tahu, tulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh beberapa hal yang saya sebutkan di atas tadi. Benar bahwa saya sama sekali tidak tahu siapa dan berasal dari mana keluarga itu, yang terdiri dari seorang papa, mama dan dua buah hati (putri) kesayangan mereka. Saya juga tidak mengenal sepasang pria dan wanita yang kebetulan juga tidak saling kenal, tetapi terlihat sangat akrab. Kecuali teman seperjuangan saya, hanya mereka yang saya kenal. Sekali lagi, saya tidak mengenal mereka. Tetapi, mereka itulah yang telah menginspirasikan saya, untuk kemudian saya putuskan menulis tentang tulisan yang sedang anda baca ini. Kalaulah boleh saya kemukakan, kira-kira begini:

Di penghujung bulan Oktober 2016, saya berkesempatan untuk hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak Balai Konservasi Borobudur Kemendikbud. Kesempatan ini pun saya peroleh setelah dinyatakan sebagai salah satu peserta Borobudur Youth Forum (BYF) tahun 2016. Kegiatan ini dilaksanakan pada tangal 27 sampai 31 Oktober 2016 di Magelang.

Setelah melaksanakan berbagai rangkaian kegiatan, mulai dari pembukaan acara, seminar, diskusi, sharing komunitas, sampai deklarasi (kampanye) pemuda pelestarian cagar budaya di Candi Borobudur, akhirnya ekskursi ke bebarapa candi dan museum pun dilaksanakan. Kegiatan field trip (karya wisata) pertama berkunjung ke Candi Sewu, kemudian dilanjutkan ke Candi Ijo, lalu ke situs sejarah Ratu Boko, dan berakhir di Museum Benteng Vredeburg. Di Museum Benteng Vredeburg inilah saya terinspirasi oleh sesuatu yang bisa dianggap biasa-biasa saja. Namun, sebenarnya apa yang saya alami itu sudah pernah saya rasakan sebelumnya, hanya saja imajinasi saya belum sadar akan hal itu.

Setelah ekskursi ke candi-candi tersebut, peserta BYF 2016 meluncur ke Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta. Sesampai disana, kami diberikan beberapa penjelasan oleh tuan rumah dan kemudian kami dipersilahkan untuk menengok seisi dan koleksi yang terdapat di museum tersebut.

Sebagai kawasan yang berdekatan dengan pusat pembelanjaan di jalan Malioboro, bangunan musuem itu terlihat seperti huruf (leter) U, dan dipadukan dengan desain bangunan yang bernuansa tempo doeloe. Saya memanfaatkan momen ini. Tetapi tidak lama setelah melihat beberapa koleksi foto sejarah, dan karena merasa kelelahan selama dalam kegiatan serta perjalanan field trip ke situs sejarah, saya pun beristirahat sejenak.

Awalnya, suasana sore itu tampak seperti biasa-biasa saja, dan tentunya ramai dikunjungi oleh orang. Namun, tak lama setelah itu, terjadilah sebuah adegan yang tadinya saya anggap biasa-biasa saja, ternyata mampu membuat saya tersenyum dengan sendirinya.

Saat kejadian itu berlangsung, saya sedang duduk sambil beristirahat dengan teman-teman BYF lainnya. Dari jarak tempat duduk itu, saya melihat satu keluarga; papa, mama dan dua buah hati putri kesayangannya yang sedang mengunjungi museum tersebut. Dua putri yang berpakaian biru dan merah itu sedang menunjuk ke foto sejarah yang sedang mereka lihat. Sementara si papa dan mamanya membalas dengan berbagai ucapan (yang mana saya tidak tahu entah jawaban apa yang mereka berikan untuk buah hatinya).

Saya terbangun dari lamunan dan renungan. Inilah yang membuat saya beranjak dari tempat duduk dan menolak untuk melanjutkan waktu istirahat. Kemudian, karena saya dibuat penasaran oleh keluarga itu, saya putuskanlah untuk mengikuti mereka dari belakang. Guna menghilangkan rasa penasaran yang mengindap di pikiran saya, kali ini saya harus berpura-pura bertindak layaknya seorang detektif atau intel gadungan.

Saya terus membuntuti mereka dari jarak yang tidak terlalu jauh. Hingga beberapa menit berlalu, nyaris tak ada kata sepatah pun yang keluar dari mulut mereka semua. Mereka hanya fokus memandang dari satu foto ke foto berikutnya. Saya masih bersemangat untuk mengikuti mereka. Momen yang saya lihat dari tempat duduk tadi sebelum saya mengikuti mereka, akhirnya kembali terjadi.

Momen itu dimulai dari putri yang memakai gaun warna biru (kelihatannya itu si kakak), ketika ia kembali menunjuk ke sebuah foto dan melayangkan pertanyaan kepada papanya: “Pah, bagaimana dengan foto ini?” Sambil mendekati wajah ke arah foto itu (mungkin sedang membaca keterangan foto) yang ditunjuk oleh putrinya, papanya pun menjawab dengan lihai. Sementara mama dan kedua putrinya, tampak tersenyum mendengar jawaban dari papanya.

Mereka terus berjalan, tapi kali ini dengan cara yang sangat romantis: si papa memegang tangan putri yang bergaun biru dengan lembut, sementara si mama juga tak mau kalah ikut memegang tangan buah hatinya yang berbaju merah dengan mesra. Sedangkan saya, tampak kelihatan bodoh yang terus mengikuti jejak mereka.

Sampai pada foto Keraton Yogyakarta, saya terkejut saat mereka menghentikan langkah kaki. Putrinya yang berbaju merah (mungkin ini si adik, dan semoga saya tidak salah), memandang foto itu dengan sangat dingin. Bola matanya terus menantap ke arah foto itu. Sesekali ia memiringkan kepalanya. Sementara papa, mama dan si kakak, juga sedang memandang dan membaca keterangan foto yang sedang mereka lihat.

Lalu, apa yang terjadi? Putri yang memandang foto Keraton Yogyakarta itu, tiba-tiba saja menebar senyuman lewat bibirnya yang anggun. Sadar bahwa ia penasaran akan foto itu, dengan cepat ia langsung mencolek papanya dan bertanya: “Pah, kenapa Yogyakarta punya keraton? Apakah di daerah lain juga punya, pah?” Si kakak sepertinya tidak senang dengan pertanyaan si adik. Ia langsung memprotes pertanyaan tersebut. Namun, si adik tetap bergeming pada pertanyaannya. Lalu si adik mengadu kepada papanya. Pada saat bersamaan juga, papa dan mamanya tampak tersenyum melihat tingkah lelucon kedua buah hati putri kesayangan mereka. Saya pun ikut tersenyum sendiri.

Menurut saya, selembar (atau sebingkai) foto sejarah yang dipajang di museum mengandung pesan simbolik yang menuntut “pembacanya atau pengunjung” menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

Saya, anda, dia, nya, mereka, kalian, atau keluarga itu, yang melihat foto sejarah di museum bagaikan berada dalam ruang tertutup dengan satu jendela. Sadar atau tidak, fotografer adalah orang yang mengarahkan dimana jendela tersebut akan dipasang. Peran fotografer menjadi sangat penting, karena kita akan melihat apa yang ingin ia perlihatkan. Dan sadar atau tidak, koleksi foto sejarah yang ada di museum, seolah mengajak kita untuk berbicara denganya atau justru kitalah yang memulai percakapan dengan foto sejarah.

Mengapa koleksi foto yang dipajang di Museum Benteng Vredeburg Yogyakara (atau juga di museu lainnya), dianggap sebagai sebuah mahakarya? Jawabannya karena koleksi foto itu memiliki simbol-simbol yang bisa dikontruksi dengan bebas oleh yang siapapun yang melihatnya ketika berkunjung ke sebuah museum. Lalu, mengapa foto Keraton Yogyakarta dipertanyakan oleh putri dari keluarga itu dengan pertanyaan mengapa di Yogyakarta memiliki keraton, sementara di daerah lainnya apakah juga punya? Jawabannya karena foto itu seolah mengajak sang putri untuk berbicara kepadanya, atau sebaliknya justru putri itulah yang mengajak berbicara kepada foto tersebut.

Saya akhirnya mengerti. Praduga saya benar, bahwa putri-putri itu penasaran dengan foto-foto sejarah. Jadi saya berhenti mengikuti mereka. Saya yakin, masih ada adegan lainnya yang (mungkin) akan diperagakan lagi oleh keluarga itu, tetapi saya tidak tahu adegan seperti apa. Ini dikarenakan saya sudah tak lagi membuntuti mereka. Saya pun berlalu meninggalkan mereka; meninggalkan sebuah keluarga yang romantis sekaligus menginspirasi saya. Tetapi saya tidak langsung kembali ke tempat duduk yang semula, namun terlebih dahulu melihat beberapa koleksi foto sejarah di museum tersebut. Lalu, saya melihat ada tempat duduk yang kosong.

Setelah dikejutkan oleh keluarga itu, tidak lama berselang, kira-kira sekitar satu jam yang lalu saya kembali dikejutkan oleh hal dan ditempat yang sama pula. Tapi, kali ini saya dikejutkan oleh seorang pria dan wanita. Jangan tanyakan siapa nama mereka berdua. Saya tidak tahu.

Tidak jauh dari tempat saya duduk, terlihat sepasang anak muda yang sedang bercakap-cakap sangat santai tapi kelihatannya serius. Si wanita mengenakan pakaian yang lebih mirip kostum Alice dari Alice in Wonderland --mungkin baru saja pulang dari pesta kostum atau apalah--, sementara si pria mengenakan jaket tebal, lengkap dengan topi kupluk dan sarung tangan plus masker dileher yang kelihatan sudah amat dekil. Di tangan keduanya ada sebotol minuman bermerek minute maid pulpy orange dan frestea rasa apel.

Keduanya bercakap-cakap dengan amat akrab, sampai-sampai saya mengira bahwa mereka pastilah berpacaran. Entah apa yang sedang dibicarakan, yang jelas mereka sedang berbicara di depan sebuah foto sejarah. Sampai kemudian si wanita itu dipanggil oleh sekelompok temannya --yang berpakaian tidak kalah necis-- yang baru saja keluar dari bagian koleksi foto museum di dekat pintu. Si wanita berpisah dengan ramah dari si pria itu.

Si wanita tadi berjalan dengan teman-temannya, sementara si pria ia juga berjalan ke arah yang lain. Sambil menengok sekali ke arah foto sejarah dan wanita tadi, pria itu pun beranjak dari tampat bercakapannya. Kemudian pria itu meletakkan botol minumannya ke tempat sampah. Ia melewati tempat duduk saya dan seketika itu pula ia berlalu dihadapan saya begitu saja, tetapi kami sempat bertatap wajah selama dua detik sebelum ia pergi arah pintu gerbang depan dan beralih ke area parkir. 

Sambil merapikan jaket dan tasnya, kemudian membayar uang parkiran dan melihat kiri-kanan, sore itu juga ia pulang dari museum. Akhirnya, dugaan saya pun salah, bahwa mereka berdua itu ternyata tidak berpacaran. Mereka berdua rupanya orang asing yang sekadar saling bercakap-cakap belaka. Hanya takdir yang mempertemukan mereka di museum.

Kejadian itu membuat saya heran, padahal yang mengalami orang lain. Sampai-sampai saya ikut bertanya dalam hati; bagaimana mungkin dua orang yang tidak saling kenal satu sama lain, bisa terlihat akrab bahkan seperti orang berpacaran hanya gara-gara foto sejarah. Mereka berdua bercakap-cakap sambil menengok ke arah foto dan sesekali baik pria ataupun wanita itu menoleh ke wajah masing-masing secara bergiliran.

Jauh dari Yogyakarta, kira-kira sekitar 125 kilometer ke arah Semarang, disana ada Lawang Sewu. Dan disana juga ada teman seperjuangan saya. Ada 3 orang pria (Rizal, Ajis, Jona) dan 3 orang perempuan (Widia, Sharfina, Nina) yang baru saja menikmati perjalanannya.

Apa yang saya alami di Semarang, berbeda yang di Yogyakarta. Tetapi adegan di Semarang adalah rekaan ulang apa yang alami di Yogyakarta. Namun inti dari adegan atau rekaan ulang itu tetap sama.

Setelah beberapa saat berada di komplek Lawang Sewu itu, saya memutuskan untuk meninggalkan mereka guna menjelajah bangunan tua itu. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya tersenyum melihat Ajis, Jona, Widia, Sharfina dan Nina yang sedang mengabadikan momen mereka di Lawang Sewu. Momen yang diabadikan itu dilakukan dengan cara foto bersama atau personal melalui android kesayangan mereka. Dengan berbagai gaya layaknya seorang artis, jepretan foto pun akhirnya dibunyikan bahkan tongkat eksis (tongsis) pun ikut membatu. Berapa foto yang dihasilkan? Tanyakan saja pada mereka.

Apa yang sedang mereka lakukan itu, sebenarnya adalah salah satu bagian dari inti tulisan ini. Bayangkan, jika foto-foto yang potret itu mereka disimpan selama 10 tahun lebih, lalu takdir mempertemukan mereka kembali disuatu tempat, dan salah satu diantara mereka membuka foto-foto tersebut, apa yang terjadi? Kemungkinan besar, meraka akan teringat kembali apa yang dilakukan waktu itu, dan setelahnya mereka akan bercerita secara bergantian, membuat lelucon, dan ketawa bersama. Sekali, bukankah sebuah foto dapat menceritakan kembali momen-momen yang pernah dialami?

Lawang Sewu, buat saya, adalah waktu yang pas untuk kembali mengingat apa yang saya alami di Yogyakarta. Karenanya, kesempatan ini terlalu baik untuk dilewatkan begitu saja. Ketika saya berada di dalam ruangan yang penuh dengan foto romantisme sejarah kereta api di kota Semarang tempo dulu, saya lagi-lagi kembali disadarkan oleh; betapa foto mampu menceritakan ulang peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu.

Kejadian-kejadian yang saya alami itu, seperti yang saya jelaskan secara singkat diatas, memang terkesan biasa-biasa saja atau dapat dikatakan adalah sesuatu yang lumrah dialami kebanyakan orang. Tapi bagi saya, adegan yang biasa-biasa saja itu, benar-benar membuat saya sadar bahwa; koleksi foto yang dipajang di museum ternyata tidak sekadar pelengkap isi museum. Namun, ia lebih dari itu.

Sempat timbul pertanyaan dalam benak saya; apakah foto-foto sejarah di museum memiliki mantra yang sangat kuat sehingga mampu membuat dan mengajak seseorang untuk berbicara dengannya? Disini, seolah-olah foto sejarah mampu menghipnotis kita.

***

Dalam perjalanan pulang ke kost setelah meneguk wedang ronde yang terakhir, pikiran saya dipenuhi oleh beberapa soal foto sejarah. Melintas dalam ingatan saya foto yang dikirimkan oleh teman saya, wajah keluarga itu terutama dua putri kesayangannya yang menunjuk ke arah foto sejarah, lalu wajah pria dan wanita yang tidak saling kenal di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Bersamaan itu juga terlitas dalam ingatan saya wajah teman-teman seperjuangan; Ajis, Jona, Widia, Sharfina dan Nina saat kami sedang berada di Semarang.

Semuanya bercampur baur. Timbul dan tenggelam dalam renungan saya. Memang benar, bahwa foto sejarah itu memiliki daya tarik yang luar biasa. Ia mampu membuat seseorang berbicara dengannya. Tak peduli apakah orang yang berbicara dengannya itu masih anak-anak, remaja, dewasa, atau bahkan yang tua sekalipun. Saya sendiri pun tak terhitung (entah berapa kali) sudah berbicara dengan foto-foto sejarah. Lalu bagaimana dengan Anda sendiri? Saya pikir Anda juga pernah berbicara dengan foto sejarah, kan?

Saya tersentak dari lamunan. Sepda motor Spin warna hitam (kini telah menjadi kenangan) yang saya kendarai saat menikmati wedang ronde itu, akhirnya tiba juga di kost Keluarga Cimplon. Ada wacana dalam batin saya sendiri, muncul kemelut dari pikiran tadi: Mengapa tidak, fatamorgana untuk menulis tentang foto-foto sejarah yang dapat menceritakan ulang peristiwa sejarah di masa lalu, sedang terpendar-pendar dipikiran saya? Tiba-tiba saja, saya pun tersenyum sendiri. Tetapi saya tidak tahu, mengapa saya senyum sendiri. 

Terbayang foto yang dikirim oleh teman saya, terbayang wajah keluarga itu, terbayang wajah pria dan wanita yang tidak saling kenal di Yogyakarta, dan terbayang pula wajah Rizal, Ajis, Jona, Widia, Sharfina, dan Nina saat kami berada di Semarang. Lalu, saya bergegas naik ke atas, kemudian masuk ke kamar kost dan langsung menghidupkan laptop. Jadi, inilah alasannya mengapa saya terinspirasi oleh cerita singkat diatas, sehingga saya putuskanlah untuk menceritakan lewat barisan kata-kata dalam bentuk sebuah kalimat kesatuan (artikel).

Agar segalanya menjadi lebih terang benderang, izinkanlah saya menguraikan beberapa peristiwa sejarah dibawah ini, yang berkaitan erat dengan foto-foto sejarah, sehingga orang-orang dapat menceritakan kembali sejarah tersebut, atau Anda juga dapat memperluas dan memperdalam tulisan ini.

Bersambung

Minggu, 22 Januari 2017.

= = = = = = =

**Chaerol Riezal (penulis), merupakan Mahasiswa Pendidikan Sejarah, dan pernah dikejutkan oleh foto-foto sejarah di sebuah museum dan foto-foto yang di potret langsung oleh sang fotografer. Kejutan-kejutan tersebut menyadarkan sekaligus mengilhami penulis untuk mengatakan betapa berharganya akan sebuah foto sejarah, karena ia dapat mengisahkan ulang sejarah lewat foto tersebut. Di samping itu, penulis juga sudah sejak lama meyakini betapa pentingnya menjaga keberlangsungan hidup sebuah sejarah, sebab jika sejarah tidak dijaga maka akan menjadi dongeng belaka sebelum tidur. Email: chaerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun