Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Etika Nikomacheia: Sebuah Prinsip Hidup

7 Juni 2018   22:14 Diperbarui: 7 Juni 2018   22:17 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lebih lanjut, dalam buku Etika Nikomacheia yang ditulisnya, Aristoteles menuntun pembaca tentang tiga pola hidup yang dikategorikan sebagai tujuan akhir, tujuan demi dirinya sendiri: hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik, dan hidup berfilsafat.

Pertama, hidup mengejar nikmat, menurut Aristoteles, tidak lebih dari "pola hidup ternak" dengan dasar argumen bahwa hanya binatanglah yang sepanjang hidupnya semata-mata demi memperoleh nikmat. Karena alasan itulah, Aristoteles menentang hedonisme[1]. Hedonisme adalah aliran filsafat yang menekankan bahwa setiap manusia selalu berhasrat mengejar kenikmatan untuk merasakan kepuasan dan menghindari rasa sakit. 

Hedonisme sangat ditentang Aristoteles karena paham tersebut menyamakan manusia dengan binatang sehingga merendahkan martabat manusia sebagai mahluk rasional, mahluk berakal budi. Selain itu, nikmat bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang "mengikuti" karena selalu berkaitan dengan suatu perbuatan. Setiap perbuatan yang berhasil dengan sendirinya kita nikmati. 

Sedangkan perbuatan yang gagal sudah tentu membuat kita rasa sakit. Oleh karena itu, kualitas suatu perbuatanlah yang menentukan adanya nikmat. Terakhir, pola hidup mengejar nikmat akan membuat hidup seseorang menjadi tidak bermakna karena membuatnya lupa akan apa yang selama ini dikejar, yaitu kebahagiaan. Seperti contoh, bila dua manusia saling mencintai hanya berfokus pada nikmat seksual semata, maka dapat dipastikan hubungan tersebut lambat laun akan putus. Dengan demikian, pola hidup mengejar nikmat menjadi tidak pantas dilakukan seorang manusia karena manusia bukanlah binatang, melainkan mahluk rasional.

Kedua, hidup berpolitik[2]. Konsep berpolitik menurut Aristoteles merujuk pada konteks sosiologis -- historis di mana ia hidup, yaitu negara polis di mana setiap warga Athena saling mengenal satu sama lain. Berpolitik merupakan puncak kesosialan masyarakat Athena. Berpolitik merupakan ciri khas manusia. Maka tidaklah mengherankan jika Aristoteles mengatakan setiap manusia adalah zoon politikon[3], mahluk berpolitik. Sebagai zoon politikon, manusia harus berpikir kritis sekaligus berefleksi bersama-sama dalam rangka mengurus negara. Konsep negara yang dimaksud adalah negara demokratis yang menuntut setiap warga negara[4] terlibat langsung dalam kegiatan politik.

Ketiga, hidup berfilsafat. Menurut Aristoteles, berfilsafat artinya kegiatan orang yang ber-theoria. Konsep bertheoria dalam kerangka pemikiran Aristoteles adalah merenung; merenungkan realitas yang abadi, dan realitas yang tak berubah, realitas ilahi. Berfilsafat merupakan ciri khas manusia, Karena dengan akal budi yang dimiliki, manusia merenungkan realitas ilahi sehingga berdampak pada kecintaan manusia pada kebijaksanaan (sophia). 

Lebih lanjut, dalam bagian terakhir buku Etika Nikomacheia, Aristoteles mengatakan bahwa kegiatan berfilsafat mampu mendatangkan kebahagiaan dengan alasan bahwa manusia terdorong untuk merenungkan realitas abadi yang tak berubah sehingga manusia membuat nyata unsur ilahi di dalamnya.

Keutamaan

Menurut Aristoteles, kualitas seorang manusia dilihat dari keutamaan yang dimiliki. Keutamaan adalah kemantapan dalam sikap yang menjadikan seseorang menjadi manusia. Keutamaan menentukan seorang manusia menjadi berbudi luhur. Dengan memiliki keutamaan, seseorang menjadi bahagia, ia menjadi semakin kuat. Contoh sederhana mengenai kejujuran. 

Apabila seseorang sejak dari kecil didik oleh orang tuanya untuk selalu berkata jujur, maka ketika sudah besar ia menjadi terbiasa jujur. Kekuatannya untuk berkata jujur meski kondisi menggodanya untuk berkata tidak benar menjadikan dirinya sebagai sosok yang kuat. Dan ia menjadi bahagia ketika telah berani mengalahkan "niat busuk" yang menggodanya atau bahkan memaksanya untuk berkata tidak jujur.

Keutamaan terdiri dari dua, yaitu intelektual dan etis. Keutamaan intelektual dibagi menjadi lima, yaitu kebijaksaan (phroneis), sophia, episteme, wawasan (nous) dan ketrampilan praktis (techne). Aristoteles membedakan definisi phronesis dan episteme.Phronesis didefinisikan sebagai kebijaksaan dalam bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam bidang masalah, apakah buruk atau baik bagi manusia. Sedangkan episteme adalah ketajaman pengetahuan ilmiah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun