Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Etika Nikomacheia: Sebuah Prinsip Hidup

7 Juni 2018   22:14 Diperbarui: 7 Juni 2018   22:17 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Setiap keterampilan dan ajaran, begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai." Kutipan tersebut merupakan kalimat pembuka dari buku Etika Nikomacheia yang ditulis filsuf bernama Aristoteles. Nama Nikomacheia diambil dari nama anak laki-laki Aristoteles, Nikomacheia. Buku ini memuat dialog antara si penulis dan anaknya.   Dalam Etika Nikomacheia, Aristoteles mengkaji bagaimana seharusnya manusia hidup dengan mempertanyakan satu hal mendasar dari manusia: Apa tujuan manusia? Pertanyaan mendasar Aristoteles tersebut sangatlah masuk akal untuk dipertanyakan sekaligus penting untuk dijawab. 

Mengingat, setiap manusia selalu mempunyai tujuan di setiap tindakan yang dilakukannya dalam menjalani hidup. Tujuan menjadi dasar tindakan manusia dalam melakukan sesuatu. Contoh sederhana mengapa manusia butuh makan, mengapa manusia butuh istirahat, mengapa manusia butuh sekolah, dan masih banyak lagi.

 Menurut Aristoles, tujuan dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah sarana untuk mencapai tujuan hidup lebih lanjut. Misalnya, seseorang mengikuti kuliah dengan tujuan untuk memperoleh gelar ijazah. Tetapi ijazah bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sekadar sarana, misalnya, untuk mendapat tempat kerja yang lebih baik. Tempat kerja itu sendiri hanya tujuan sendiri. Karena kalau kita bekerja, tentu mempunyai tujuan. 

Di antaranya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengembangkan diri, atau batu loncatan untuk meraih jabatan yang lebih tinggi. Sedangkan tujuan akhir adalah tujuan demi dirinya sendiri. Tujuan yang ketika sudah tercapai, maka tidak ada lagi tujuan yang ingin diraihnya. Lalu apakah tujuan akhir itu? Aristoteles menjawab: Kebahagiaan!! Artinya, ketika seseorang sudah bahagia, maka tidak ada yang diinginkan selebihnya. Di satu pihak, kebahagiaan selalu dicari demi dirinya sendiri, bukan demi sesuatu yang lain. Di lain pihak, kebahagiaan mencukupi dirinya sendiri, yang mengandung pengertian kalau kita sudah bahagia, maka tidak ada lagi yang masih bisa ditambah.

Kebahagiaan: Sebuah Tujuan Akhir Manusia

Aristoteles adalah filsuf pertama yang merumuskan dengan jelas bahwa kebahagian adalah apa yang dicari oleh setiap manusia. Karena itulah, etika Aristoteles disebut dengan eudemonisme. Kata eudemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaimonia yang berarti bahagia. Dalam etika eudemonisme, setiap manusia harus menata kehidupannya dengan baik untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan adalah hal yang sangat diminati setiap manusia. Karena setiap manusia pasti selalu berhasrat untuk meraih kebahagiaan.

 Konsep kebahagiaan, menurut Aristoteles, mengandung tiga pengertian. Pertama, kebahagiaan sebagai tujuan akhir setiap manusia sehingga tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Justru tujuan agama bergaris lurus dengan tujuan akhir manusia: Kebahagiaan. Contoh sederhana dalam agama apa pun setiap mahluk Tuhan berkeyakinan bahwa kebahagiaan tertinggi adalah masuk surga, Sang Budha menunjukkan jalan untuk mengurangi penderitaan, Lao-Tzu mengajarkan manusia harus mencari dao (jalan)-nya dan implikasinya adalah ia akan bahagia semakin ia menemukannya.

 Kedua, kalau kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka tujuan yang selama ini dianggap sebagai tujuan akhir manusia menjadi tidak memadai. Di antaranya, uang dan nama tersohor. 

Uang dinilai Aristoteles hanya sebatas sarana untuk mencapai tujuan lain, yaitu memenuhi kebutuhan hidup dan terbebas dari kekurangan sehingga kekayaan tidak dapat menciptakan kebahagiaan. Begitu juga dengan nama tersohor. Aristoteles mengatakan nama tersohor merupakan sesuatu dalam pandangan orang lain, bukan pada diri orang yang bersangkutan. Seseorang bisa saja tersohor karena prestasi yang dilakukan. Maka prestasi itulah yang diusahakan, bukan nama tersohor.

 Jadi, nama tersohor tergantung dari ciri-ciri yang ada pada diri kita sehingga bukan tujuan akhir. Nama tersohor hanyalah ciri-ciri yang orang lain kagumi pada kita, dan bukan agar kita menjadi tersohor. Ketiga, kebahagiaan tidak dapat langsung diusahakan. Artinya, kebahagiaan kita terima apabila kita menjalani hidup yang menunjangnya. Hidup yang baiklah yang harus kita usahakan agar kebahagiaan bisa dirasakan. Oleh karena itu, kebahagiaan lebih bersifat "diberikan" daripada direbut.

Pola Hidup Tujuan Akhir

Lebih lanjut, dalam buku Etika Nikomacheia yang ditulisnya, Aristoteles menuntun pembaca tentang tiga pola hidup yang dikategorikan sebagai tujuan akhir, tujuan demi dirinya sendiri: hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik, dan hidup berfilsafat.

Pertama, hidup mengejar nikmat, menurut Aristoteles, tidak lebih dari "pola hidup ternak" dengan dasar argumen bahwa hanya binatanglah yang sepanjang hidupnya semata-mata demi memperoleh nikmat. Karena alasan itulah, Aristoteles menentang hedonisme[1]. Hedonisme adalah aliran filsafat yang menekankan bahwa setiap manusia selalu berhasrat mengejar kenikmatan untuk merasakan kepuasan dan menghindari rasa sakit. 

Hedonisme sangat ditentang Aristoteles karena paham tersebut menyamakan manusia dengan binatang sehingga merendahkan martabat manusia sebagai mahluk rasional, mahluk berakal budi. Selain itu, nikmat bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang "mengikuti" karena selalu berkaitan dengan suatu perbuatan. Setiap perbuatan yang berhasil dengan sendirinya kita nikmati. 

Sedangkan perbuatan yang gagal sudah tentu membuat kita rasa sakit. Oleh karena itu, kualitas suatu perbuatanlah yang menentukan adanya nikmat. Terakhir, pola hidup mengejar nikmat akan membuat hidup seseorang menjadi tidak bermakna karena membuatnya lupa akan apa yang selama ini dikejar, yaitu kebahagiaan. Seperti contoh, bila dua manusia saling mencintai hanya berfokus pada nikmat seksual semata, maka dapat dipastikan hubungan tersebut lambat laun akan putus. Dengan demikian, pola hidup mengejar nikmat menjadi tidak pantas dilakukan seorang manusia karena manusia bukanlah binatang, melainkan mahluk rasional.

Kedua, hidup berpolitik[2]. Konsep berpolitik menurut Aristoteles merujuk pada konteks sosiologis -- historis di mana ia hidup, yaitu negara polis di mana setiap warga Athena saling mengenal satu sama lain. Berpolitik merupakan puncak kesosialan masyarakat Athena. Berpolitik merupakan ciri khas manusia. Maka tidaklah mengherankan jika Aristoteles mengatakan setiap manusia adalah zoon politikon[3], mahluk berpolitik. Sebagai zoon politikon, manusia harus berpikir kritis sekaligus berefleksi bersama-sama dalam rangka mengurus negara. Konsep negara yang dimaksud adalah negara demokratis yang menuntut setiap warga negara[4] terlibat langsung dalam kegiatan politik.

Ketiga, hidup berfilsafat. Menurut Aristoteles, berfilsafat artinya kegiatan orang yang ber-theoria. Konsep bertheoria dalam kerangka pemikiran Aristoteles adalah merenung; merenungkan realitas yang abadi, dan realitas yang tak berubah, realitas ilahi. Berfilsafat merupakan ciri khas manusia, Karena dengan akal budi yang dimiliki, manusia merenungkan realitas ilahi sehingga berdampak pada kecintaan manusia pada kebijaksanaan (sophia). 

Lebih lanjut, dalam bagian terakhir buku Etika Nikomacheia, Aristoteles mengatakan bahwa kegiatan berfilsafat mampu mendatangkan kebahagiaan dengan alasan bahwa manusia terdorong untuk merenungkan realitas abadi yang tak berubah sehingga manusia membuat nyata unsur ilahi di dalamnya.

Keutamaan

Menurut Aristoteles, kualitas seorang manusia dilihat dari keutamaan yang dimiliki. Keutamaan adalah kemantapan dalam sikap yang menjadikan seseorang menjadi manusia. Keutamaan menentukan seorang manusia menjadi berbudi luhur. Dengan memiliki keutamaan, seseorang menjadi bahagia, ia menjadi semakin kuat. Contoh sederhana mengenai kejujuran. 

Apabila seseorang sejak dari kecil didik oleh orang tuanya untuk selalu berkata jujur, maka ketika sudah besar ia menjadi terbiasa jujur. Kekuatannya untuk berkata jujur meski kondisi menggodanya untuk berkata tidak benar menjadikan dirinya sebagai sosok yang kuat. Dan ia menjadi bahagia ketika telah berani mengalahkan "niat busuk" yang menggodanya atau bahkan memaksanya untuk berkata tidak jujur.

Keutamaan terdiri dari dua, yaitu intelektual dan etis. Keutamaan intelektual dibagi menjadi lima, yaitu kebijaksaan (phroneis), sophia, episteme, wawasan (nous) dan ketrampilan praktis (techne). Aristoteles membedakan definisi phronesis dan episteme.Phronesis didefinisikan sebagai kebijaksaan dalam bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam bidang masalah, apakah buruk atau baik bagi manusia. Sedangkan episteme adalah ketajaman pengetahuan ilmiah. 

Setiap ilmu pasti memiliki episteme-nya masing-masing. Lebih lanjut, Aristoteles menekankan bahwa phronesis lebih penting dibandingkan episteme dengan alasan phronesis merupakan ciri khas manusia; phronesis mendorong manusia untuk memahami apakah tindakan yang akan diambil sudah tepat dan etis atau belum; phronesis membantu manusia dalam berkomunikasi kepada manusia lain. Phronesis diperoleh melalui pembiasaan yang dilakukan sejak kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun