"Malam itu Ibu sedang beradu bicara dengan Ayah. Ibu meminta berpisah dengan ayah."
"Keputusan macam apa ini? Ibu benar-benar sudah keterlaluan."
Sudah pasti aku dan adik hanya bisa mendiam. Mengkaku dalam suasana yang membingungkan. Kami hampir pingsan, dan kami tidak terbiasa menghadami situasi seperti saat ini. Saat itu, aku berpikir ibuku adalah pecundang, dia yang mendoktrin tapi tak mampu menunjukkan jati dirinya. Ibu yang memendam pada perasaan yang dingin dan ayah yang lihat menyimpulkan tanpa memahami.
"Apa ibu benar-benar mengatakan ini dengan Ayah?" tanyaku dengan gemetar.
"Ibu sudah menikah dengan Ayah sekian tahun. Mengabdikan hidup Ibu untuk Ayah dan keluarganya. Dengan adanya kalian ibu juga sudah merawat dan mendidik dengan sebaik-baiknya dan sebisa Ibu. Ibu juga sudah mengajari kalian menyelesaikan kebutuhan kalian sendiri. Sedang Ayah, sebetulnya dia tidak terbiasa dengan keadaan seperti ini."
Pembicaraan ibu diputus oleh kakak. "Apa sih yang Ibu mau? Mau menghancurkan kelurga ini?" Untuk pertama kalinya kakak berbicara dengan nada tinggi dengan ibu.
"Ibu lelah Nak. Ibu akan memanfaatkan waktu sementara ini untuk istirahat. Ibu sudah bekali kalian semuanya. Sudah saatnya sekarang kalian ibu lepas untuk menjalani hidup masing-masing."
"Apa yang diberikan Ayah selama ini masih kurang?"
"Apa kebahagiaan kalian selama ini hanya dari pemberian materi Nak? Kalian tidak bisa merasakan karena kasih sayang Ibu dan Ayah berusaha kami hadirkan di sendi-sendi hari kalian. Tapi Ibu, setelah menikah dan menetap di rumah ini, Ibu selalu hampa dengan kesendirian, tepatnya setelah Ayah dipindahkan tugas." Suasana mulai sunyi, kakak berusaha menerima penjelasan ibu. "Ibu amat berkecukupan dari pemberian ayah, pun ibu bahagia merawat kalian semua. Tapi ada kehampaan dalam hati Ibu tanpa hadirnya kasih sayang lagi. Bagi Ayah, dia merasa memberikan kasih sayang dari capaian yang dia dapatkan. Tapi bagi Ibu bukan hanya itu."
"Apa yang Ibu inginkan?" Tanya kakak merendahkan nada dan menatap ibu.
Akhirnya ibu menceritakan semua hal yang selama ini tidak kita ketahui. Beberapa tahun terakhir ibu dan ayah jarang berkomunikasi. Pagi hari ibu bangun menyiapkan sarapan dan keperluan ayah. Obrolan pagi sekadar menanyakan dasi ayah di mana, baju warna abu-abu di mana, dan terkahir mengucapkan salam. Siangnya ibu kami tinggal sendiri di rumah dengan segala kesibukkan kami. Meski begitu, sesekali kami juga menyempatkan memberi kabar melalui whatsapp. Sorenya ayah pulang, sering juga larut malam. Selagi ibu menyiapkan makan malam, ayah bebersih. Sampai di kamar istirahat. Kata ibu begitulah aktivitas mereka selama ini. Ibu bukan tidak ikhlas apa yang ia abdikan selama ini. Ibu hanya menginginkan kehadiran secara batin seorang ayah untuk menguatkan psikisnya.