Dibanding gaji Wito yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, pampers, susu, bensin, beras, lauk pauk, lalu bayar listrik.
Sebulan setelah permintaan Wito agar resign, Tia masih asyik menekuni pekerjaannya. Kemarahan Witopun memuncak setelah kedapatan bayi Nera yang dikasihinya demam tinggi. Inah minta pulang kampung 2 hari lalu. Marah, sedih, menangislah ia sejadi-jadinya.
Wito ingin Tia seperti yang dulu, penurut, sederhana, setia, bukan sombong, sok pintar, sok cantik, sok sibuk, tengil.
Sambil memeluk bayi Nera, ia berdoa agar Yang Kuasa meluputkan dari kesukaran ini. Ya kami memang membutuhkan uang Tuhan tapi kami tak mau keluarga ini hancur oleh karena ketamakan.
Uang hanya memabukkan orang. Orang keblinger karena uang.
Tetiba dari dalam rumah Wito melihat mobil Tia. Sang sopir keluar mobil sambil membawa seluruh alat-alat kantor, baju jas Tia, pot tanaman janda bolong dari meja kerjanya, bantal kursi di kantornya
"Kak, mulai hari ini aku mau masak makanan kesukaan kakak"
"Jadi, adek sudah resign?"
"Sudah kak, owner kasih mobil ini untuk kita, katanya pakai saja semau kita. Kalau ku sudah siap bekerja lagi, dia welcome katanya kak"
"oh.." lirih Wito