"Kamu nggak cukup pintar"
"Dia lebih cantik, lebih sukses"
"Kenapa kamu selalu gagal"
Suara-suara itu tak terdengar oleh orang lain, tapi terus bergaung di dalam kepalaku. Ia datang saat aku bercermin.
Saat membuka media sosial. Saat membaca komentar orang. Atau bahkan saat tidak ada apa-apa, tiba-tiba saja ia menyerbu dan mencengkram rasa percaya diriku.
Namanya insecurity
Aku tahu pasti kapan dia mulai tumbuh. Mungkin sejak komentar iseng tentang penampilanku di bangku sekolah.
Mungkin dari perbandingan yang sering kudengar di rumah, Atau dari standar "sukses" yang dijejalkan terus-menerus oleh dunia.
Tapi yang kutahu, ia telah lama tinggal di dalam pikiranku menggerogoti perlahan, mengubah cara pandangku terhadap diri sendiri, dan menciptakan jarak antara aku dan diriku yang sebenarnya.
Bertahun-tahun aku hidup berdampingan dengan rasa minder. Aku belajar menyembunyikannya di balik senyum, bahkan candaan.
Tapi semakin aku menutupinya, semakin dalam lubang yang kurasa. Sampai suatu hari, aku lelah. Aku mulai bertanya pada diri sendiri "Mengapa aku begitu keras pada diriku sendiri?"
Lalu aku mulai menulis. Bukan untuk orang lain. tapi untuk diriku sendiri. Aku menuliskan luka-luka yang kusembunyikan, ekspektasi yang menjerat, dan rasa takut yang selama ini kubiarkan tumbuh liar.