Oke, kita setuju. Anggap saja bahwa proposal Nadiem Makarim tersebut layak untuk dijalankan. Bahkan keempat program tersebut terkesan sangat progresif dan memiliki terobosan. Meskipun ada sebagian kalangan akademisi meragukan efektivitasnya. Namun coba kita fokus saja pada keberhasilan.
Tetapi dibalik itu nampaknya ada hal yang terlupakan oleh Mendikbud. Jika membedah kebijakan terobosan yang digembar-gemborkan sama sekali tidak menyentuh pada terobosan kesejahteraan dosen. Terutama dosen tetap yang bekerja pada perguruan tinggi swasta (PTS). Seakan hal itu sudah selesai.
Padahal, persoalan kesejahteraan dosen di PTS masih dipertanyakan oleh ribuan dosen yang bukan berstatus pegawai negeri sipil (PNS) terkait komitmen pemerintah. Ribuan dosen PTS tersebut saat ini bekerja dengan beban yang tidak sesuai dengan gaji yang mereka terima. (mohon maaf setara gaji sopir).
Sementara pihak yayasan yang mengelola PTS seperti melepaskan tanggung jawab mereka. Seolah hanya pihak dosen saja yang membutuhkan kampus. Sedangkan yayasan lebih mementingkan keuntungan bagi dirinya.
Bahkan sudah bukan rahasia lagi bila dosen PTS banyak yang hanya dimanfaatkan semata oleh oknum-oknum yayasan. Seperti mengambil ijazah mereka untuk mengurus perizinan dan akreditasi kampus. Sementara dosen tidak mendapatkan manfaat apa-apa.
Yang lebih menyedihkan lagi gaji dosen PTS bukan hanya di bawah standar layak bahkan dibayarpun bisa sampai melebihi satu semester berlalu. Tak jarang hingga tidak dibayar sama sekali. Coba Anda bayangkan!
Sangat ironi, seperti yang dialami oleh kawan-kawan PTS yang selalu bekerja dengan tekanan tinggi dan di bawah ancaman. Sudah gaji tidak layak, terlambat bayar, hingga bisa tidak dibayar, dapat ancaman pula dari pimpinan kampus atau yayasan.
Sehingga tidak salah bila ada yang menyindir bahwa program Kampus Merdeka ala Nadiem Makarim tidak membuat sekaligus dosennya juga merdeka. Justru sebaliknya, kampus merdeka tapi dosennya terjajah. Tragis!
Bagaimana tidak terjajah. Dosen di Indonesia memiliki tiga tugas pokok, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Walaupun secara umum kelihatan sederhana, tetapi berikut ini adalah perinciannya: 15 kegiatan terkait pengajaran, 5 kegiatan terkait penelitian, 5 kegiatan terkait pengabdian kepada masyarakat, dan 10 tugas penunjang yang selanjutnya kesemua 35 kegiatan itu dirincikan menjadi 61 jenis kegiatan yang layak mendapat angka kredit (Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya). Begitu kolomnis detiknews menuliskan.
Mari bandingkan dengan pendapatan yang diterima oleh dosen. Disini kita tidak bicara dosen ingin menjadi kaya. Tapi hanya sebatas memenuhi kebutuhan keluarganya saja. Sungguh masih sangat jauh dari cukup. Sekali lagi bukan soal kaya atau tidak bersyukur. Banyak yang masih di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi).