Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Pak Nadiem Tolong Beresin Gaji Dosen PTS, Dong

7 Februari 2020   06:49 Diperbarui: 7 Februari 2020   06:50 399 3
Berganti hari berganti pula bulan. Begitu juga berganti pemimpin berganti pula kebijakan. Fenomena seperti ini biasa terjadi. Ibarat berganti zaman berubah pula tingkat kemajuan. Setujukan?

Dalam konteks pendidikan di Indonesia.  Tongkat estafet Menteri Pendidikan kini dipercayakan kepada Nadiem Anwar Makarim. Nama kementerian itu pun di merger dengan jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Yang sebelumnya terpisah antara kementerian pendidikan dasar menengah dan kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi.

Sebagai wajah baru di dunia birokrasi, sosok Nadiem Makarim sempat diragukan kapasitasnya dalam mengurusi pendidikan Indonesia. Apalagi Makarim lebih dikenal sebagai pebisnis di bawah Gojek. Sama sekali tidak berkaitan dengan dunia pendidikan apalagi sekaligus diberikan kepercayaan untuk mengembangkan pendidikan tinggi Indonesia.

Namun apa lacur, Presiden Jokowi telah menunjuk dia sebagai punggawa dunia pendidikan nasional. Sehingga mau tidak mau seluruh stakeholder terpaksa tunduk pada keputusan sang presiden.

Lantas bukan Nadiem Makarim namanya bila ia melangkahkan kakinya ke kantor Kemendikbud tanpa membawa apa-apa alias tanpa program dan visi kedepan.

Perhatikan kembali. Jelang beberapa hari Nadiem Makarim dilantik ia langsung membuat kejutan. Mendikbud era 4.0 ini meluncurkan berbagai program inovatif sebagai strategi untuk mewujudkan visi Sumber Daya Manusia Unggul Indonesia Maju sebagaimana diharapkan oleh Presiden Joko Widodo.

Program yang ia tawarkan itu bertajuk 'Merdeka Belajar' hingga berlanjut 'Kampus Merdeka' sebagai strategi akselerasi meningkatkan kualitas SDM Indonesia Maju. Karena menurut Nadiem Makarim saat ini masih banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Penyebab utama yakni mereka tidak memiliki keterampilan kerja.

Oleh karena itu pemerintah ingin melakukan perubahan secara radikal terhadap sistem pendidikan dan paradigma dunia kampus kita. Diantaranya adalah dengan memangkas masa belajar (kuliah) bagi jenjang sarjana (1), boleh mengambil mata kuliah di luar prodi, dan mengintesifkan kegiatan praktik kerja atau magang sebagai cara baru.

Intinya, program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka diharapkan menjadi warna baru bagi pendidikan di tanah air untuk mengejar ketertinggalan kualitas SDM Indonesia dari negara lain.

Diharapkan pula seluruh pemangku kepentingan kampus mendukung dan dapat melaksanakan gagasan Mendikbud Nadiem Makarim dengan tepat dan sungguh-sungguh.

Ada empat program yang menjadi andalan Mendikbud bagi kemajuan pendidikan tinggi dalam tajuk Kampus Merdeka. Keempat kebijakan andalan Mendikbud itu ditengarai dapat menjawab masalah tingginya sarjana menganggur di tanah air.

Oke, kita setuju. Anggap saja bahwa proposal Nadiem Makarim tersebut layak untuk dijalankan. Bahkan keempat program tersebut terkesan sangat progresif dan memiliki terobosan. Meskipun ada sebagian kalangan akademisi meragukan efektivitasnya. Namun coba kita fokus saja pada keberhasilan.

Tetapi dibalik itu nampaknya ada hal yang terlupakan oleh Mendikbud. Jika membedah kebijakan terobosan yang digembar-gemborkan sama sekali tidak menyentuh pada terobosan kesejahteraan dosen. Terutama dosen tetap yang bekerja pada perguruan tinggi swasta (PTS). Seakan hal itu sudah selesai.

Padahal, persoalan kesejahteraan dosen di PTS masih dipertanyakan oleh ribuan dosen yang bukan berstatus pegawai negeri sipil (PNS) terkait komitmen pemerintah. Ribuan dosen PTS tersebut saat ini bekerja dengan beban yang tidak sesuai dengan gaji yang mereka terima. (mohon maaf setara gaji sopir).

Sementara pihak yayasan yang mengelola PTS seperti melepaskan tanggung jawab mereka. Seolah hanya pihak dosen saja yang membutuhkan kampus. Sedangkan yayasan lebih mementingkan keuntungan bagi dirinya.

Bahkan sudah bukan rahasia lagi bila dosen PTS banyak yang hanya dimanfaatkan semata oleh oknum-oknum yayasan. Seperti mengambil ijazah mereka untuk mengurus perizinan dan akreditasi kampus. Sementara dosen tidak mendapatkan manfaat apa-apa.

Yang lebih menyedihkan lagi gaji dosen PTS bukan hanya di bawah standar layak bahkan dibayarpun bisa sampai melebihi satu semester berlalu. Tak jarang hingga tidak dibayar sama sekali. Coba Anda bayangkan!

Sangat ironi, seperti yang dialami oleh kawan-kawan PTS yang selalu bekerja dengan tekanan tinggi dan di bawah ancaman. Sudah gaji tidak layak, terlambat bayar, hingga bisa tidak dibayar, dapat ancaman pula dari pimpinan kampus atau yayasan.

Sehingga tidak salah bila ada yang menyindir bahwa program Kampus Merdeka ala Nadiem Makarim tidak membuat sekaligus dosennya juga merdeka. Justru sebaliknya, kampus merdeka tapi dosennya terjajah. Tragis!

Bagaimana tidak terjajah. Dosen di Indonesia memiliki tiga tugas pokok, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Walaupun secara umum kelihatan sederhana, tetapi berikut ini adalah perinciannya: 15 kegiatan terkait pengajaran, 5 kegiatan terkait penelitian, 5 kegiatan terkait pengabdian kepada masyarakat, dan 10 tugas penunjang yang selanjutnya kesemua 35 kegiatan itu dirincikan menjadi 61 jenis kegiatan yang layak mendapat angka kredit (Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya). Begitu kolomnis detiknews menuliskan.

Mari bandingkan dengan pendapatan yang diterima oleh dosen. Disini kita tidak bicara dosen ingin menjadi kaya. Tapi hanya sebatas memenuhi kebutuhan keluarganya saja. Sungguh masih sangat jauh dari cukup. Sekali lagi bukan soal kaya atau tidak bersyukur. Banyak yang masih di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi).

Lantas bagaimana Mendikbud memandang persoalan klasik ini?

Menurut saya percuma berganti-ganti menteri bila berbagai masalah yang sudah terjadi sejak lama tidak mampu dituntaskan. Sedangkan dosen merupakan salah satu ujung tombak berhasilnya program-program Kemendikbud (sebelumnya: Kemenristek Dikti).

Nadiem Makarim seyogyanya bersedia mewakafkan diri untuk menyelesaikan ini. Bila perlu Anda harus berani mencabut izin PTS bila yayasan pengelola tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi dosennya. Jangan takut tidak populer sebab melawan pemilik modal.

Banyak dosen PTS yang hingga saat ini masih terzalimi berharap semoga Mendikbud sempat membaca tulisan sederhana ini dan merespon dengan kebijakan yang tepat.

Walaupun memang sudah ada perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap dosen PTS dalam hal sertifikasi. Tetapi untuk lulus itupun tidak segampang membalikkan telapak tangan. Apalagi dosen yang belum masuk pada kategori eligible (D1).

Sementara untuk memenuhi syarat eligible dosen harus bekerja keras memenuhi seluruh kewajiban tri dharma perguruan tinggi yang sangat menyita waktu. Sedangkan disisi lain mereka tidak mendapatkan perhatian dari yayasan dalam aspek kesejahteraan. Bahkan dapat ancaman pula atau akan dipersulit untuk mengurus jabatan fungsional dosen bila mereka protes atau mengkritisi pimpinan. Celaka bukan?

Jadi kepada Bapak Mendikbud tolong dong perhatikan isu ini dengan hati dan pikiran yang jernih. Berpihak jugalah pada dosen-dosen PTS. Buatlah mereka juga merdeka sebagaimana dosen PNS dan bukan hanya kampus saja yang mau dibikin merdeka. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun