Mohon tunggu...
Selvia Candra Puspita
Selvia Candra Puspita Mohon Tunggu... UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Book Berjudul " Peradilan Agama Dan Dinamika Kontemporer" Karya Dr. H. Asni, S.Ag., M.Ag

8 Oktober 2025   22:01 Diperbarui: 8 Oktober 2025   22:01 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB IV -- KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Bab ini menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya, serta oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bersifat mandiri dan terlepas dari pengaruh kekuasaan lain, baik eksekutif maupun legislatif. Prinsip kemandirian peradilan menjadi dasar penting agar hakim dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan objektif, tanpa tekanan politik atau kepentingan pihak tertentu. Dalam konteks negara hukum, kekuasaan kehakiman memegang peran strategis sebagai penjaga supremasi hukum dan pelindung hak-hak warga negara, sehingga keadilan dapat ditegakkan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi memiliki fungsi utama dalam memeriksa dan memutus perkara kasasi untuk memastikan adanya keseragaman penerapan hukum di seluruh pengadilan Indonesia. Selain itu, Mahkamah Agung juga berwenang melakukan pengawasan terhadap empat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing lingkungan peradilan memiliki yurisdiksi yang berbeda. Peradilan Umum menangani perkara pidana dan perdata masyarakat secara umum, Peradilan Agama mengadili perkara-perkara bagi umat Islam seperti perkawinan, warisan, wakaf, zakat, hibah, dan ekonomi syariah, Peradilan Militer menangani perkara yang melibatkan anggota TNI, sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara mengadili sengketa administratif antara warga negara dan pemerintah. Di samping itu, terdapat Mahkamah Konstitusi yang berfungsi menjaga kemurnian dan supremasi konstitusi dengan cara menguji undang-undang terhadap UUD 1945 serta memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Adapun Komisi Yudisial berperan dalam menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim agar lembaga peradilan tetap memiliki wibawa dan kepercayaan publik.

Peradilan Agama dalam struktur peradilan nasional kini menempati posisi yang sejajar dengan lembaga peradilan lainnya setelah diberlakukannya kebijakan sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung. Kebijakan ini memperkuat kemandirian dan profesionalitas lembaga peradilan, termasuk Peradilan Agama, yang sebelumnya masih berada di bawah pengawasan Kementerian Agama. Melalui sistem satu atap ini, pengelolaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan berada langsung di bawah Mahkamah Agung, sehingga koordinasi, pengawasan, dan pengambilan kebijakan menjadi lebih efektif dan terintegrasi. Bab ini menegaskan bahwa sistem peradilan nasional merupakan wujud nyata dari prinsip negara hukum (rechtstaat) yang menjamin setiap warga negara memperoleh akses terhadap keadilan tanpa diskriminasi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pilar utama yang menjamin tegaknya keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB V -- PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DARI MASA KE MASA

Bab ini menelusuri sejarah panjang perjalanan Peradilan Agama di Indonesia sejak masa kerajaan-kerajaan Islam hingga era modern. Pada masa sebelum penjajahan, lembaga peradilan berbasis hukum Islam telah berfungsi dengan baik di berbagai kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kesultanan Samudera Pasai, Demak, Banten, dan Gowa. Pada masa itu, para qadhi dan ulama menjadi tokoh sentral dalam menyelesaikan perkara masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kewenangan mereka mencakup berbagai bidang, mulai dari masalah perkawinan, warisan, hingga transaksi ekonomi berbasis keislaman. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan Islam sudah hidup dalam struktur sosial masyarakat jauh sebelum lahirnya sistem hukum modern. Ketika masa penjajahan Belanda tiba, eksistensi Peradilan Agama tidak serta-merta dihapus. Pemerintah kolonial justru mengakui keberadaannya secara terbatas melalui Staatsblad Tahun 1882 Nomor 153 yang membentuk Priesterraad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Meskipun demikian, kewenangan lembaga ini dipersempit hanya pada urusan nikah, talak, dan rujuk, sedangkan perkara lain seperti waris dan wakaf sering dialihkan ke peradilan umum. Hal ini mencerminkan adanya upaya kolonial untuk membatasi pengaruh hukum Islam, namun sekaligus menjadi bukti bahwa sistem peradilan agama tetap diakui dalam tatanan hukum kolonial.

Setelah Indonesia merdeka, kedudukan Peradilan Agama memasuki babak baru. Meskipun secara historis diakui, secara yuridis lembaga ini sempat menghadapi perdebatan panjang karena belum memiliki dasar hukum yang kuat dalam sistem peradilan nasional. Sebagian pihak memandang bahwa keberadaan Peradilan Agama hanya bersifat kultural dan religius, bukan institusional. Namun demikian, lembaga ini tetap dipertahankan karena memiliki akar sosial yang kuat di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Titik balik yang menentukan terjadi ketika lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini menegaskan dasar hukum, struktur kelembagaan, serta prosedur peradilan yang sejajar dengan peradilan lainnya. Tidak hanya itu, reformasi hukum berikutnya melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Nomor 50 Tahun 2009 memperluas kewenangan Peradilan Agama, termasuk dalam menangani perkara-perkara ekonomi syariah seperti perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan berbasis syariah. Dengan adanya perubahan ini, Peradilan Agama berkembang menjadi lembaga hukum modern yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan nasional.

Perkembangan tersebut membuktikan bahwa Peradilan Agama bukanlah lembaga statis, melainkan entitas yang mampu beradaptasi dengan dinamika politik hukum dan kebutuhan masyarakat. Setelah diterapkannya sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung, kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan mandiri. Integrasi ini membawa kemajuan pesat dalam berbagai aspek, mulai dari peningkatan fasilitas, profesionalisasi sumber daya manusia, hingga penerapan teknologi informasi untuk mendukung transparansi dan efisiensi pelayanan hukum. Digitalisasi sistem administrasi perkara, pengawasan berbasis elektronik, serta peningkatan kompetensi hakim menjadi bagian dari upaya pembaruan yang berkelanjutan. Semua kemajuan tersebut merupakan hasil dari proses panjang evolusi Peradilan Agama yang senantiasa menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Dengan demikian, Peradilan Agama kini tidak hanya menjadi simbol keadilan bagi umat Islam, tetapi juga bukti keberhasilan integrasi nilai-nilai hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional yang modern.

BAB VI -- PERADILAN AGAMA DAN TANTANGAN ERA KONTEMPORER

Bab ini membahas berbagai tantangan yang dihadapi oleh Peradilan Agama di tengah perkembangan zaman modern yang serba cepat. Kemajuan teknologi, arus globalisasi, serta perubahan sosial menuntut lembaga peradilan untuk terus beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya sebagai penegak hukum Islam. Dalam konteks ini, Peradilan Agama harus mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai keislaman dan tuntutan masyarakat modern. Penulis menjelaskan bahwa tantangan utama yang muncul di era kontemporer antara lain berkaitan dengan isu-isu global seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan perlindungan anak. Isu-isu tersebut sering muncul dalam perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama seperti perceraian, hak asuh anak, maupun warisan. Karena itu, hakim Peradilan Agama dituntut untuk mampu menafsirkan hukum Islam secara kontekstual agar tetap relevan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan universal. Penegakan hukum Islam harus dilakukan secara bijak dengan mempertimbangkan realitas sosial tanpa mengabaikan nilai-nilai syariah yang menjadi landasannya.

Selain itu, tantangan besar lain yang diuraikan penulis adalah proses digitalisasi peradilan. Mahkamah Agung telah menerapkan sistem e-Court dan e-Litigasi sebagai bentuk modernisasi lembaga peradilan di Indonesia. Melalui sistem ini, masyarakat dapat mendaftarkan perkara, membayar biaya, hingga mengikuti proses sidang secara daring. Hal ini merupakan langkah maju yang mencerminkan upaya menuju peradilan yang cepat, efisien, dan transparan. Namun demikian, penerapan teknologi digital juga membawa tantangan baru, terutama terkait kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi di berbagai daerah. Tidak semua aparatur peradilan memiliki kemampuan yang memadai dalam penggunaan teknologi informasi, dan tidak semua wilayah memiliki jaringan internet yang stabil. Oleh karena itu, digitalisasi harus diiringi dengan pelatihan SDM, peningkatan sarana prasarana, serta sistem keamanan data yang kuat agar dapat berjalan optimal dan adil bagi semua pihak yang berperkara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun