Mohon tunggu...
Selvia Candra Puspita
Selvia Candra Puspita Mohon Tunggu... UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Book Berjudul " Peradilan Agama Dan Dinamika Kontemporer" Karya Dr. H. Asni, S.Ag., M.Ag

8 Oktober 2025   22:01 Diperbarui: 8 Oktober 2025   22:01 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Buku Peradilan Agama Dan Dinamika Kontemporer)

IDENTITAS BUKU  

Judul                          : PERADILAN AGAMA DAN DINAMIKA KONTEMPORER

Penulis                      : Dr. Hj. Asni, S.Ag., M.H.I.

Tahun terbit              : 2021

Penerbit                     : DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)

Kota                            : Sleman 

Jumlah Halaman      : 230 halaman 

OLEH: Selvia Candra Puspita/232121073/HKI 5B

 

BAB I -- PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan dasar pemikiran serta latar belakang yang melandasi kajian mengenai Peradilan Agama dalam sistem hukum di Indonesia. Penulis membuka pembahasan dengan uraian historis bahwa keberadaan lembaga peradilan agama di Indonesia telah ada sejak awal masuknya Islam ke Nusantara. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Demak, Banten, dan Gowa, lembaga peradilan berfungsi sebagai wadah penyelesaian berbagai perkara umat Islam berdasarkan prinsip-prinsip hukum syariah. Para qadhi dan ulama memegang peranan penting dalam memutus perkara yang berkaitan dengan pernikahan, warisan, wakaf, dan urusan keagamaan lainnya. Keberadaan lembaga tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam telah hidup dan berkembang secara nyata dalam sistem sosial masyarakat jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia modern.

Memasuki masa penjajahan Belanda, eksistensi Peradilan Agama tetap diakui meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Staatsblad Nomor 153 Tahun 1882 yang mengatur pembentukan Priesterraad atau pengadilan agama di wilayah Jawa dan Madura. Meskipun kewenangannya dibatasi hanya pada urusan nikah, talak, dan rujuk, pengakuan tersebut memperlihatkan bahwa sistem peradilan Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan Peradilan Agama mengalami berbagai dinamika seiring perubahan politik hukum nasional. Periode demi periode pemerintahan membawa pengaruh berbeda terhadap status dan kewenangan lembaga ini. Puncaknya terjadi pada masa reformasi ketika diterapkan sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung, yang menandai babak baru dalam penguatan kelembagaan peradilan agama sebagai bagian integral dari kekuasaan kehakiman nasional.

Penulis menegaskan bahwa politik hukum memiliki pengaruh yang besar terhadap arah perkembangan dan penguatan Peradilan Agama di Indonesia. Reformasi konstitusi yang menegaskan kemandirian lembaga yudikatif menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi dan fungsi Peradilan Agama dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dalam konteks penulisan buku ini, penulis menggunakan pendekatan historis-normatif dengan metode analisis kualitatif berbasis studi pustaka. Tujuannya adalah untuk menelusuri perjalanan panjang Peradilan Agama dari masa ke masa serta memahami kedudukannya dalam sistem hukum nasional. Selain itu, bab ini juga menyoroti berbagai tantangan kontemporer yang dihadapi lembaga peradilan agama, seperti digitalisasi layanan hukum, isu kesetaraan gender, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, bab pendahuluan ini menjadi landasan konseptual bagi pembahasan bab-bab berikutnya yang menguraikan secara lebih mendalam peran, dinamika, dan arah pembaruan Peradilan Agama di Indonesia.

BAB II -- PERADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Bab ini membahas secara komprehensif perbedaan sekaligus hubungan erat antara istilah "peradilan" dan "pengadilan" dalam konteks sistem hukum. Peradilan dipahami sebagai suatu proses dalam upaya menegakkan keadilan berdasarkan hukum, sedangkan pengadilan adalah lembaga atau institusi yang melaksanakan proses tersebut secara formal. Dengan kata lain, peradilan merupakan kegiatan substantif yang bertujuan untuk mencari dan menegakkan keadilan, sementara pengadilan adalah wadah tempat proses keadilan itu dijalankan. Penulis menegaskan bahwa kedua istilah tersebut saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan karena peradilan membutuhkan pengadilan sebagai instrumen pelaksana, sedangkan pengadilan memerlukan prinsip dan tujuan peradilan agar memiliki arah dan legitimasi moral. Pemahaman terhadap dua konsep ini penting agar masyarakat tidak hanya melihat hukum sebagai sekadar aturan tertulis, tetapi juga sebagai mekanisme yang hidup dalam upaya mewujudkan keadilan sosial.

Dalam bagian ini, penulis menekankan bahwa peradilan memiliki posisi strategis dalam sistem hukum nasional karena menjadi sarana utama dalam menegakkan keadilan dan menjaga ketertiban sosial. Dalam negara hukum seperti Indonesia, peradilan yang bebas dan mandiri merupakan syarat mutlak bagi tegaknya supremasi hukum. Tanpa peradilan yang independen, keadilan akan mudah terdistorsi oleh kepentingan politik atau kekuasaan. Untuk memperkuat argumentasinya, penulis mengutip pandangan Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum ke dalam tiga komponen utama: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Struktur hukum meliputi lembaga-lembaga dan aparat penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. Substansi hukum mencakup norma, aturan, dan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum positif. Sementara itu, kultur hukum berhubungan dengan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap hukum. Ketiga elemen ini harus berjalan seimbang agar penegakan hukum dapat menghasilkan keadilan yang substantif, bukan sekadar formalitas.

Selanjutnya, penulis mengaitkan pembahasan ini dengan konsep politik hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD. Politik hukum dipahami sebagai kebijakan negara dalam menentukan arah pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum di suatu negara. Artinya, keberadaan dan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik hukum yang berkembang pada setiap periode pemerintahan. Kebijakan penguasa dalam bidang hukum sangat memengaruhi sejauh mana Peradilan Agama dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya secara optimal. Dalam konteks ini, penulis menegaskan bahwa Peradilan Agama sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional memiliki peran penting dalam memperkuat nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan umat Islam. Melalui lembaga ini, hukum Islam tidak hanya hidup dalam tataran normatif, tetapi juga berfungsi nyata dalam memberikan perlindungan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.

BAB III -- PERADILAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Bab ini menguraikan secara mendalam konsep peradilan dalam pandangan Islam yang menjadi landasan filosofis bagi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. Dalam terminologi Arab, istilah peradilan dikenal dengan kata al-qadha, yang secara etimologis berarti menetapkan, memutuskan, atau menunaikan suatu perkara. Dalam konteks hukum Islam, qadha mencerminkan kewenangan seorang hakim atau qadhi untuk menegakkan keadilan berdasarkan hukum syariah yang bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, dan sumber hukum Islam lainnya. Peradilan dalam Islam bukan sekadar lembaga hukum formal, melainkan juga merupakan manifestasi dari tanggung jawab moral seorang pemimpin dan penegak hukum untuk menjaga keseimbangan dan kemaslahatan umat. Oleh sebab itu, lembaga peradilan dalam Islam selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai tauhid, keadilan, dan amanah yang ditekankan dalam ajaran agama.

Dasar perintah untuk menegakkan keadilan banyak ditemukan dalam Al-Qur'an, di antaranya dalam Surat An-Nisa ayat 58 yang memerintahkan agar setiap amanah disampaikan kepada yang berhak dan agar keputusan perkara dilakukan secara adil. Ayat ini menegaskan bahwa keadilan merupakan prinsip universal yang wajib ditegakkan dalam setiap aspek kehidupan. Dalam Islam, keadilan tidak hanya dipahami sebagai nilai hukum, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Oleh karena itu, seorang hakim dalam Islam tidak hanya dituntut memiliki kecakapan intelektual dan pengetahuan hukum, tetapi juga harus memiliki integritas spiritual, kejujuran, dan ketakwaan. Dalam menjalankan tugasnya, hakim dituntut untuk bebas dari pengaruh pihak mana pun, sehingga keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan yang hakiki. Dengan demikian, fungsi peradilan dalam Islam mencakup dimensi hukum, moral, dan spiritual secara bersamaan.

Penulis menegaskan bahwa tujuan utama peradilan Islam adalah menegakkan hukum Allah dan menjaga kemaslahatan umat manusia. Asas-asas utama yang dijunjung tinggi dalam sistem peradilan Islam antara lain keadilan (al-'adl), persamaan di hadapan hukum (al-musawah), kebebasan hakim dalam memutus perkara (istiqlal al-qadhi), serta tanggung jawab moral kepada Allah SWT atas setiap keputusan yang diambil. Sejarah Islam mencatat bahwa sistem peradilan telah terbentuk sejak masa Nabi Muhammad SAW, di mana beliau sendiri berperan sebagai qadhi yang memutuskan berbagai perkara umat. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah, dengan pembentukan struktur peradilan yang semakin sistematis. Konsep dan praktik peradilan yang berkembang dalam sejarah Islam tersebut menjadi dasar historis dan ideologis bagi pembentukan sistem Peradilan Agama di Indonesia. Dengan kata lain, Peradilan Agama di Indonesia merupakan kelanjutan dari nilai-nilai keadilan Islam yang telah hidup dan berkembang sejak zaman Rasulullah SAW hingga era modern, dengan menyesuaikan diri terhadap sistem hukum nasional tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariah yang menjadi ruhnya.

BAB IV -- KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Bab ini menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya, serta oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bersifat mandiri dan terlepas dari pengaruh kekuasaan lain, baik eksekutif maupun legislatif. Prinsip kemandirian peradilan menjadi dasar penting agar hakim dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan objektif, tanpa tekanan politik atau kepentingan pihak tertentu. Dalam konteks negara hukum, kekuasaan kehakiman memegang peran strategis sebagai penjaga supremasi hukum dan pelindung hak-hak warga negara, sehingga keadilan dapat ditegakkan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi memiliki fungsi utama dalam memeriksa dan memutus perkara kasasi untuk memastikan adanya keseragaman penerapan hukum di seluruh pengadilan Indonesia. Selain itu, Mahkamah Agung juga berwenang melakukan pengawasan terhadap empat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing lingkungan peradilan memiliki yurisdiksi yang berbeda. Peradilan Umum menangani perkara pidana dan perdata masyarakat secara umum, Peradilan Agama mengadili perkara-perkara bagi umat Islam seperti perkawinan, warisan, wakaf, zakat, hibah, dan ekonomi syariah, Peradilan Militer menangani perkara yang melibatkan anggota TNI, sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara mengadili sengketa administratif antara warga negara dan pemerintah. Di samping itu, terdapat Mahkamah Konstitusi yang berfungsi menjaga kemurnian dan supremasi konstitusi dengan cara menguji undang-undang terhadap UUD 1945 serta memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Adapun Komisi Yudisial berperan dalam menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim agar lembaga peradilan tetap memiliki wibawa dan kepercayaan publik.

Peradilan Agama dalam struktur peradilan nasional kini menempati posisi yang sejajar dengan lembaga peradilan lainnya setelah diberlakukannya kebijakan sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung. Kebijakan ini memperkuat kemandirian dan profesionalitas lembaga peradilan, termasuk Peradilan Agama, yang sebelumnya masih berada di bawah pengawasan Kementerian Agama. Melalui sistem satu atap ini, pengelolaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan berada langsung di bawah Mahkamah Agung, sehingga koordinasi, pengawasan, dan pengambilan kebijakan menjadi lebih efektif dan terintegrasi. Bab ini menegaskan bahwa sistem peradilan nasional merupakan wujud nyata dari prinsip negara hukum (rechtstaat) yang menjamin setiap warga negara memperoleh akses terhadap keadilan tanpa diskriminasi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pilar utama yang menjamin tegaknya keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB V -- PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DARI MASA KE MASA

Bab ini menelusuri sejarah panjang perjalanan Peradilan Agama di Indonesia sejak masa kerajaan-kerajaan Islam hingga era modern. Pada masa sebelum penjajahan, lembaga peradilan berbasis hukum Islam telah berfungsi dengan baik di berbagai kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kesultanan Samudera Pasai, Demak, Banten, dan Gowa. Pada masa itu, para qadhi dan ulama menjadi tokoh sentral dalam menyelesaikan perkara masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kewenangan mereka mencakup berbagai bidang, mulai dari masalah perkawinan, warisan, hingga transaksi ekonomi berbasis keislaman. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan Islam sudah hidup dalam struktur sosial masyarakat jauh sebelum lahirnya sistem hukum modern. Ketika masa penjajahan Belanda tiba, eksistensi Peradilan Agama tidak serta-merta dihapus. Pemerintah kolonial justru mengakui keberadaannya secara terbatas melalui Staatsblad Tahun 1882 Nomor 153 yang membentuk Priesterraad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Meskipun demikian, kewenangan lembaga ini dipersempit hanya pada urusan nikah, talak, dan rujuk, sedangkan perkara lain seperti waris dan wakaf sering dialihkan ke peradilan umum. Hal ini mencerminkan adanya upaya kolonial untuk membatasi pengaruh hukum Islam, namun sekaligus menjadi bukti bahwa sistem peradilan agama tetap diakui dalam tatanan hukum kolonial.

Setelah Indonesia merdeka, kedudukan Peradilan Agama memasuki babak baru. Meskipun secara historis diakui, secara yuridis lembaga ini sempat menghadapi perdebatan panjang karena belum memiliki dasar hukum yang kuat dalam sistem peradilan nasional. Sebagian pihak memandang bahwa keberadaan Peradilan Agama hanya bersifat kultural dan religius, bukan institusional. Namun demikian, lembaga ini tetap dipertahankan karena memiliki akar sosial yang kuat di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Titik balik yang menentukan terjadi ketika lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini menegaskan dasar hukum, struktur kelembagaan, serta prosedur peradilan yang sejajar dengan peradilan lainnya. Tidak hanya itu, reformasi hukum berikutnya melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Nomor 50 Tahun 2009 memperluas kewenangan Peradilan Agama, termasuk dalam menangani perkara-perkara ekonomi syariah seperti perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan berbasis syariah. Dengan adanya perubahan ini, Peradilan Agama berkembang menjadi lembaga hukum modern yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan nasional.

Perkembangan tersebut membuktikan bahwa Peradilan Agama bukanlah lembaga statis, melainkan entitas yang mampu beradaptasi dengan dinamika politik hukum dan kebutuhan masyarakat. Setelah diterapkannya sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung, kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan mandiri. Integrasi ini membawa kemajuan pesat dalam berbagai aspek, mulai dari peningkatan fasilitas, profesionalisasi sumber daya manusia, hingga penerapan teknologi informasi untuk mendukung transparansi dan efisiensi pelayanan hukum. Digitalisasi sistem administrasi perkara, pengawasan berbasis elektronik, serta peningkatan kompetensi hakim menjadi bagian dari upaya pembaruan yang berkelanjutan. Semua kemajuan tersebut merupakan hasil dari proses panjang evolusi Peradilan Agama yang senantiasa menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Dengan demikian, Peradilan Agama kini tidak hanya menjadi simbol keadilan bagi umat Islam, tetapi juga bukti keberhasilan integrasi nilai-nilai hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional yang modern.

BAB VI -- PERADILAN AGAMA DAN TANTANGAN ERA KONTEMPORER

Bab ini membahas berbagai tantangan yang dihadapi oleh Peradilan Agama di tengah perkembangan zaman modern yang serba cepat. Kemajuan teknologi, arus globalisasi, serta perubahan sosial menuntut lembaga peradilan untuk terus beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya sebagai penegak hukum Islam. Dalam konteks ini, Peradilan Agama harus mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai keislaman dan tuntutan masyarakat modern. Penulis menjelaskan bahwa tantangan utama yang muncul di era kontemporer antara lain berkaitan dengan isu-isu global seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan perlindungan anak. Isu-isu tersebut sering muncul dalam perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama seperti perceraian, hak asuh anak, maupun warisan. Karena itu, hakim Peradilan Agama dituntut untuk mampu menafsirkan hukum Islam secara kontekstual agar tetap relevan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan universal. Penegakan hukum Islam harus dilakukan secara bijak dengan mempertimbangkan realitas sosial tanpa mengabaikan nilai-nilai syariah yang menjadi landasannya.

Selain itu, tantangan besar lain yang diuraikan penulis adalah proses digitalisasi peradilan. Mahkamah Agung telah menerapkan sistem e-Court dan e-Litigasi sebagai bentuk modernisasi lembaga peradilan di Indonesia. Melalui sistem ini, masyarakat dapat mendaftarkan perkara, membayar biaya, hingga mengikuti proses sidang secara daring. Hal ini merupakan langkah maju yang mencerminkan upaya menuju peradilan yang cepat, efisien, dan transparan. Namun demikian, penerapan teknologi digital juga membawa tantangan baru, terutama terkait kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi di berbagai daerah. Tidak semua aparatur peradilan memiliki kemampuan yang memadai dalam penggunaan teknologi informasi, dan tidak semua wilayah memiliki jaringan internet yang stabil. Oleh karena itu, digitalisasi harus diiringi dengan pelatihan SDM, peningkatan sarana prasarana, serta sistem keamanan data yang kuat agar dapat berjalan optimal dan adil bagi semua pihak yang berperkara.

Tantangan ketiga yang disoroti adalah dampak pandemi Covid-19 terhadap sistem peradilan. Pandemi memaksa lembaga peradilan, termasuk Peradilan Agama, untuk menyesuaikan mekanisme kerjanya dengan menerapkan sidang daring dan sistem pelayanan jarak jauh. Kondisi ini melahirkan konsep "era new normal" dalam dunia peradilan, di mana proses hukum harus tetap berjalan meskipun terdapat keterbatasan fisik dan sosial. Penulis menilai bahwa situasi tersebut seharusnya dijadikan momentum untuk mempercepat reformasi dan inovasi di lingkungan Peradilan Agama. Era digital dan new normal memberi peluang besar bagi lembaga ini untuk memperkuat profesionalitas, meningkatkan efisiensi, serta memperluas akses masyarakat terhadap keadilan. Reformasi yang diharapkan tidak hanya berupa perubahan teknis, tetapi juga mencakup pembenahan moral, etika, dan integritas para aparat hukum. Dengan demikian, Peradilan Agama di masa depan diharapkan mampu menjadi lembaga yang modern, transparan, dan berintegritas tinggi, sekaligus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam yang menjadi ruh keadilannya.

BAB VII -- PENUTUP

Bab terakhir ini berfungsi sebagai refleksi menyeluruh atas keseluruhan isi buku serta penegasan kembali terhadap perjalanan panjang Peradilan Agama di Indonesia. Penulis menyimpulkan bahwa Peradilan Agama telah mengalami proses perkembangan yang panjang dan dinamis, dimulai dari peranannya sebagai lembaga keagamaan tradisional di masa kerajaan-kerajaan Islam hingga menjadi bagian integral dari sistem peradilan nasional yang modern. Perjalanan tersebut menunjukkan bahwa eksistensi Peradilan Agama bukanlah hasil dari proses yang instan, melainkan buah dari perjuangan panjang umat Islam dalam mempertahankan nilai-nilai hukum Islam di tengah perubahan sistem politik dan hukum nasional. Kini, Peradilan Agama telah menjadi lembaga yang diakui secara konstitusional dan sejajar dengan lembaga peradilan lainnya. Kekuatan dan kewenangan yang dimilikinya merupakan hasil dari dukungan politik hukum yang semakin terbuka dan demokratis terhadap penerapan nilai-nilai keadilan berbasis syariah di Indonesia.

Meskipun demikian, penulis mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi Peradilan Agama di masa depan tidaklah ringan. Perubahan sosial yang cepat, perkembangan teknologi informasi, serta tuntutan masyarakat terhadap pelayanan hukum yang lebih transparan dan efisien menuntut Peradilan Agama untuk terus berbenah. Lembaga ini harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai Islam yang menjadi landasan moral dan spiritualnya. Reformasi peradilan tidak dapat hanya berhenti pada pembenahan administratif, melainkan juga harus mencakup peningkatan kualitas sumber daya manusia, moralitas, dan profesionalisme aparat peradilan. Hakim dan seluruh aparatur peradilan dituntut untuk bekerja dengan integritas tinggi, menjunjung etika profesi, dan menempatkan nilai keadilan di atas segala kepentingan pribadi maupun institusional. Dengan demikian, Peradilan Agama tidak hanya kuat secara kelembagaan, tetapi juga memiliki legitimasi moral di mata masyarakat.

Sebagai penutup, penulis menyampaikan harapan besar agar Peradilan Agama terus berperan sebagai benteng keadilan bagi umat Islam dan menjadi simbol harmonisasi antara nilai-nilai agama dengan prinsip modernitas hukum. Keberhasilan Peradilan Agama di masa depan sangat bergantung pada kemampuan lembaga ini dalam mengintegrasikan antara teknologi dan spiritualitas, antara profesionalitas dan moralitas. Penguatan sistem digital di bidang administrasi peradilan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang adaptif terhadap teknologi, serta peneguhan nilai-nilai etika Islam dalam setiap proses hukum menjadi langkah penting untuk mewujudkan lembaga peradilan yang unggul dan berkeadilan. Dengan upaya berkelanjutan tersebut, diharapkan Peradilan Agama dapat menjadi contoh bagi sistem peradilan lainnya di Indonesia, sekaligus menjadi pilar keadilan yang humanis, modern, dan berakar kuat pada nilai-nilai keislaman.

KESIMPULAN

Secara keseluruhan, buku Peradilan Agama dan Dinamika Kontemporer karya Dr. Hj. Asni, S.Ag., M.H.I. menyajikan analisis yang komprehensif mengenai perjalanan panjang dan dinamika perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Buku ini tidak hanya mengulas aspek historis terbentuknya lembaga peradilan agama sejak masa kerajaan-kerajaan Islam hingga masa reformasi, tetapi juga menggambarkan perubahan-perubahan penting yang terjadi dalam sistem peradilan nasional. Melalui kajian yang mendalam, penulis menegaskan bahwa eksistensi Peradilan Agama merupakan hasil dari proses sejarah, perjuangan sosial, dan dukungan politik hukum yang mengarah pada pengakuan konstitusional terhadap lembaga ini. Dengan demikian, Peradilan Agama bukan sekadar lembaga keagamaan, melainkan juga institusi hukum negara yang memiliki peran penting dalam menjaga keadilan, ketertiban, dan kemaslahatan umat Islam di Indonesia.

Melalui pendekatan historis-normatif yang digunakan, penulis menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan lembaga yang hidup, adaptif, dan terus berevolusi mengikuti kebutuhan masyarakat. Lembaga ini mampu menyesuaikan diri terhadap berbagai tantangan zaman, baik dalam konteks politik, sosial, maupun teknologi. Reformasi hukum dan penerapan sistem satu atap di bawah Mahkamah Agung telah memperkuat posisi Peradilan Agama sebagai lembaga yudisial yang independen dan profesional. Selain itu, perkembangan digitalisasi dan penerapan sistem e-Court serta e-Litigasi menunjukkan bahwa Peradilan Agama siap menghadapi era modern dengan pendekatan berbasis teknologi, tanpa mengabaikan nilai-nilai spiritual dan moralitas yang menjadi ruh hukum Islam. Hal ini memperlihatkan keseimbangan antara modernitas dan religiusitas yang menjadi karakter khas lembaga ini dalam sistem hukum Indonesia.

Kehadiran buku ini memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pengembangan keilmuan hukum Islam di Indonesia. Buku ini tidak hanya relevan bagi kalangan akademisi dan mahasiswa hukum Islam, tetapi juga penting bagi para praktisi peradilan, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum yang ingin memahami lebih dalam tentang peran Peradilan Agama dalam menegakkan keadilan di tengah dinamika perubahan zaman. Melalui pembahasan yang argumentatif dan didukung dengan kajian teoretis yang kuat, buku ini menginspirasi perlunya sinergi antara nilai religius, rasionalitas hukum, dan kemajuan teknologi dalam membangun sistem peradilan yang berkeadilan, transparan, dan berintegritas. Dengan demikian, karya ini tidak hanya menjadi refleksi terhadap sejarah Peradilan Agama, tetapi juga menjadi panduan visioner bagi arah pembaruan lembaga peradilan Islam di masa depan.

 

Inspirasi setelah membaca

Setelah membaca buku Peradilan Agama dan Dinamika Kontemporer, saya semakin memahami bahwa Peradilan Agama bukan sekadar lembaga hukum yang memutus perkara, tetapi juga memiliki peran besar dalam menjaga moralitas dan nilai-nilai spiritual masyarakat Muslim. Bagi saya, buku ini menunjukkan bahwa hukum Islam ternyata sangat relevan dengan tantangan zaman modern dan mampu beradaptasi tanpa kehilangan prinsip keadilannya. Dari bacaan ini, saya menyimpulkan bahwa Peradilan Agama tidak hanya menjadi tempat mencari keadilan hukum, tetapi juga wadah untuk menegakkan nilai kemanusiaan, integritas, dan keseimbangan antara ajaran agama dengan perkembangan hukum nasional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun