Mohon tunggu...
Selvia Candra Puspita
Selvia Candra Puspita Mohon Tunggu... UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Book Berjudul " Peradilan Agama Dan Dinamika Kontemporer" Karya Dr. H. Asni, S.Ag., M.Ag

8 Oktober 2025   22:01 Diperbarui: 8 Oktober 2025   22:01 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab ini menjelaskan dasar pemikiran serta latar belakang yang melandasi kajian mengenai Peradilan Agama dalam sistem hukum di Indonesia. Penulis membuka pembahasan dengan uraian historis bahwa keberadaan lembaga peradilan agama di Indonesia telah ada sejak awal masuknya Islam ke Nusantara. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Demak, Banten, dan Gowa, lembaga peradilan berfungsi sebagai wadah penyelesaian berbagai perkara umat Islam berdasarkan prinsip-prinsip hukum syariah. Para qadhi dan ulama memegang peranan penting dalam memutus perkara yang berkaitan dengan pernikahan, warisan, wakaf, dan urusan keagamaan lainnya. Keberadaan lembaga tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam telah hidup dan berkembang secara nyata dalam sistem sosial masyarakat jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia modern.

Memasuki masa penjajahan Belanda, eksistensi Peradilan Agama tetap diakui meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Staatsblad Nomor 153 Tahun 1882 yang mengatur pembentukan Priesterraad atau pengadilan agama di wilayah Jawa dan Madura. Meskipun kewenangannya dibatasi hanya pada urusan nikah, talak, dan rujuk, pengakuan tersebut memperlihatkan bahwa sistem peradilan Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan Peradilan Agama mengalami berbagai dinamika seiring perubahan politik hukum nasional. Periode demi periode pemerintahan membawa pengaruh berbeda terhadap status dan kewenangan lembaga ini. Puncaknya terjadi pada masa reformasi ketika diterapkan sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung, yang menandai babak baru dalam penguatan kelembagaan peradilan agama sebagai bagian integral dari kekuasaan kehakiman nasional.

Penulis menegaskan bahwa politik hukum memiliki pengaruh yang besar terhadap arah perkembangan dan penguatan Peradilan Agama di Indonesia. Reformasi konstitusi yang menegaskan kemandirian lembaga yudikatif menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi dan fungsi Peradilan Agama dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dalam konteks penulisan buku ini, penulis menggunakan pendekatan historis-normatif dengan metode analisis kualitatif berbasis studi pustaka. Tujuannya adalah untuk menelusuri perjalanan panjang Peradilan Agama dari masa ke masa serta memahami kedudukannya dalam sistem hukum nasional. Selain itu, bab ini juga menyoroti berbagai tantangan kontemporer yang dihadapi lembaga peradilan agama, seperti digitalisasi layanan hukum, isu kesetaraan gender, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, bab pendahuluan ini menjadi landasan konseptual bagi pembahasan bab-bab berikutnya yang menguraikan secara lebih mendalam peran, dinamika, dan arah pembaruan Peradilan Agama di Indonesia.

BAB II -- PERADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Bab ini membahas secara komprehensif perbedaan sekaligus hubungan erat antara istilah "peradilan" dan "pengadilan" dalam konteks sistem hukum. Peradilan dipahami sebagai suatu proses dalam upaya menegakkan keadilan berdasarkan hukum, sedangkan pengadilan adalah lembaga atau institusi yang melaksanakan proses tersebut secara formal. Dengan kata lain, peradilan merupakan kegiatan substantif yang bertujuan untuk mencari dan menegakkan keadilan, sementara pengadilan adalah wadah tempat proses keadilan itu dijalankan. Penulis menegaskan bahwa kedua istilah tersebut saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan karena peradilan membutuhkan pengadilan sebagai instrumen pelaksana, sedangkan pengadilan memerlukan prinsip dan tujuan peradilan agar memiliki arah dan legitimasi moral. Pemahaman terhadap dua konsep ini penting agar masyarakat tidak hanya melihat hukum sebagai sekadar aturan tertulis, tetapi juga sebagai mekanisme yang hidup dalam upaya mewujudkan keadilan sosial.

Dalam bagian ini, penulis menekankan bahwa peradilan memiliki posisi strategis dalam sistem hukum nasional karena menjadi sarana utama dalam menegakkan keadilan dan menjaga ketertiban sosial. Dalam negara hukum seperti Indonesia, peradilan yang bebas dan mandiri merupakan syarat mutlak bagi tegaknya supremasi hukum. Tanpa peradilan yang independen, keadilan akan mudah terdistorsi oleh kepentingan politik atau kekuasaan. Untuk memperkuat argumentasinya, penulis mengutip pandangan Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum ke dalam tiga komponen utama: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Struktur hukum meliputi lembaga-lembaga dan aparat penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. Substansi hukum mencakup norma, aturan, dan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum positif. Sementara itu, kultur hukum berhubungan dengan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap hukum. Ketiga elemen ini harus berjalan seimbang agar penegakan hukum dapat menghasilkan keadilan yang substantif, bukan sekadar formalitas.

Selanjutnya, penulis mengaitkan pembahasan ini dengan konsep politik hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD. Politik hukum dipahami sebagai kebijakan negara dalam menentukan arah pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum di suatu negara. Artinya, keberadaan dan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik hukum yang berkembang pada setiap periode pemerintahan. Kebijakan penguasa dalam bidang hukum sangat memengaruhi sejauh mana Peradilan Agama dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya secara optimal. Dalam konteks ini, penulis menegaskan bahwa Peradilan Agama sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional memiliki peran penting dalam memperkuat nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan umat Islam. Melalui lembaga ini, hukum Islam tidak hanya hidup dalam tataran normatif, tetapi juga berfungsi nyata dalam memberikan perlindungan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.

BAB III -- PERADILAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Bab ini menguraikan secara mendalam konsep peradilan dalam pandangan Islam yang menjadi landasan filosofis bagi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. Dalam terminologi Arab, istilah peradilan dikenal dengan kata al-qadha, yang secara etimologis berarti menetapkan, memutuskan, atau menunaikan suatu perkara. Dalam konteks hukum Islam, qadha mencerminkan kewenangan seorang hakim atau qadhi untuk menegakkan keadilan berdasarkan hukum syariah yang bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, dan sumber hukum Islam lainnya. Peradilan dalam Islam bukan sekadar lembaga hukum formal, melainkan juga merupakan manifestasi dari tanggung jawab moral seorang pemimpin dan penegak hukum untuk menjaga keseimbangan dan kemaslahatan umat. Oleh sebab itu, lembaga peradilan dalam Islam selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai tauhid, keadilan, dan amanah yang ditekankan dalam ajaran agama.

Dasar perintah untuk menegakkan keadilan banyak ditemukan dalam Al-Qur'an, di antaranya dalam Surat An-Nisa ayat 58 yang memerintahkan agar setiap amanah disampaikan kepada yang berhak dan agar keputusan perkara dilakukan secara adil. Ayat ini menegaskan bahwa keadilan merupakan prinsip universal yang wajib ditegakkan dalam setiap aspek kehidupan. Dalam Islam, keadilan tidak hanya dipahami sebagai nilai hukum, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Oleh karena itu, seorang hakim dalam Islam tidak hanya dituntut memiliki kecakapan intelektual dan pengetahuan hukum, tetapi juga harus memiliki integritas spiritual, kejujuran, dan ketakwaan. Dalam menjalankan tugasnya, hakim dituntut untuk bebas dari pengaruh pihak mana pun, sehingga keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan yang hakiki. Dengan demikian, fungsi peradilan dalam Islam mencakup dimensi hukum, moral, dan spiritual secara bersamaan.

Penulis menegaskan bahwa tujuan utama peradilan Islam adalah menegakkan hukum Allah dan menjaga kemaslahatan umat manusia. Asas-asas utama yang dijunjung tinggi dalam sistem peradilan Islam antara lain keadilan (al-'adl), persamaan di hadapan hukum (al-musawah), kebebasan hakim dalam memutus perkara (istiqlal al-qadhi), serta tanggung jawab moral kepada Allah SWT atas setiap keputusan yang diambil. Sejarah Islam mencatat bahwa sistem peradilan telah terbentuk sejak masa Nabi Muhammad SAW, di mana beliau sendiri berperan sebagai qadhi yang memutuskan berbagai perkara umat. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah, dengan pembentukan struktur peradilan yang semakin sistematis. Konsep dan praktik peradilan yang berkembang dalam sejarah Islam tersebut menjadi dasar historis dan ideologis bagi pembentukan sistem Peradilan Agama di Indonesia. Dengan kata lain, Peradilan Agama di Indonesia merupakan kelanjutan dari nilai-nilai keadilan Islam yang telah hidup dan berkembang sejak zaman Rasulullah SAW hingga era modern, dengan menyesuaikan diri terhadap sistem hukum nasional tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariah yang menjadi ruhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun